oleh

Aksi 212: Tanda Pergantian Era, Ukhuwah Day of the World

Aksi 212: Tanda Pergantian Era, catatan kecil pojok warung kopi ndeso. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.

Pasca Reuni 212 di Monas, Ahad (2/12/2018), umat muslim seyogianya tidak perlu gundah, galau, apalagi marah menghadapai bully para buzzer petahana di media massa terutama media sosial (medsos). Karena selain bully-an tersebut mencerminkan kepanikan mereka sendiri, juga bulan Maulud tersebut, dimana merupakan bulan kelahiran nabi yang selalu ditandai dengan kejadian besar (kalau diera nabi ditandai dengan serangan tentara gajah)

Maka Maulid juga sebagai tanda bahwa akan ada pergantian era atau masa. Nah, di Maulid ini, peristiwa besar itu ternyata adalah aksi (reuni) 212. Puluhan juta manusia berkumpul dalam damai, tertib dan ramah. Marah tetapi tersenyum, kata Efendi Gozali, dan perih, kata AA Gym di ILC, meski distigma intoleransi, radikal, anti NKRI dan seterusnya.

Semuanya berjalan aman dan indah di mata dunia. Media Barat pun mengagumi dan meliput peristiwa tersebut secara headline. Bahkan negara-negara yang tergabung dalam The World Peace Committee sepakat menjadikan moment di Monas (212/2018) sebagai hari “Ukhuwah Day of the World”.

Di satu sisi, Prof Francesco, Sekjennya berkata: “Saya orang Italia beragama Katolik, begitu melihat video 2 Desember 2018 di Jakarta, Indonesia, saya merinding dan bergetar”. Akan tetapi di sisi lain, mayoritas media mainstream Indonesia kenapa tidak memuat peristiwa bersejarah tersebut. Justru bungkam. Entah kenapa. Ya turut berduka cita untuk media mainstream kita, semoga arwahmu diterima oleh pemilik modal.

Kembali ke prolog catatan ini. Ketika Maulid sebagai “pintu” bergantinya suatu masa sesuai perulangan sejarah kenabian dahulu. Pertanyaannya, masa atau era apakah sekarang ini, dan era apa sebagai pengganti nanti? Entahlah. Yang jelas, sebuah era, orde atau apapun istilahnya. Niscaya akan terkait dengan kepemimpinan. Apakah berarti akan ada pergantian kepemimpinan nasional? Bisa iya, bisa juga tidak. Substansinya adalah bergantinya pola-pola kepemimpinan, kebijakan, aturan dan lain-lain.

Mungkin, jika kemarin dinilai sebagai Era impor, kedepan mungkin sebaliknya, Era ekspor. Atau, bila masa lalu adalah sorga TKA, kedepan barangkali neraka bagi TKA di satu sisi, namun sorga (lapangan kerja) bagi warga lokal. Ataupun, jika di era dahulu penuh dengan persekusi ulama, mungkin era kedepan justru penghormatan tinggi kepada para alim ulama. Demikian seterusnya. Inilah sekilas gambaran pergantian era berpintu bulan Maulid yang ditandai dengan Aksi Reuni 212 di Monas.

Kembali kita ke iqra’. Bacalah tanda-tanda alam bagi orang yang berpikir. Analogi paku contohnya, paku yang tegak lurus yang terus dipalu, sedang paku yang bengkok tidak dipukul atau malah dicabut. Demikian pula dengan analogi besi, semakin ditempa akan semakin tajam, filosofinya besi menajamkan besi, untuk terbentuk dia mesti dibakar dan dipalu berkali-kali.

Itu analogi yang diisyaratkan alam atas kondisi yang kini sedang terjadi. Ketika suara mayoritas dibungkam, inilah yang terjadi, gelombang arus ke Tugu Monas yang sangat heroik. Hukum alam tengah berproses massive. Jika dikehendaki, bisa saja gelombang massa mayoritas ini menjadi kekuatan yang sangat destruktif dan banal. Tetapi ternyata yang demikian tidak terjadi, karena bagaimanapun akan banyak korban berjatuhan.

Jadi, hikmah yang bisa diambil oleh entitas selain muslim dari Aksi Reuni 212 pada Minggu, (2/12/2018) di Monas adalah, antara lain:
1) Mayoritas bukan berarti lalim dan tirani kendati narasi politis saat ini justru “tirani mayoritas”;
2) Islam itu ramah, tertib, santun dan indah;
3) Gugurnya isu-isu tentang radikalisme, intoleransi, anti-NKRI dst yang dilabelkan kepada umat Islam.

Loading...

Baca Juga