oleh

BPJS, Balada Kezaliman Di Masa Pandemi. Opini Ratna Munjiah

BPJS, Balada Kezaliman Di Masa Pandemi. Oleh: Ratna Munjiah. Pemerhati Sosial Masyarakat.

Sudah jatuh tertimpa tangga, bayangan untuk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dari negara bak mimpi yang takkan pernah terwujud. Rakyat selalu diberi kebijakkan yang menyengsarakan dari para pemilik kebijakkan. Di tengah pandemi penguasa mengumumkan kenaikan iuran BPJS, sungguh negara tak punya hati.

Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, mengungkap data penyumbang defisit BPJS Kesehatan yang terbesar. Menurut dia, defisit terbesar berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah atau PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang.

Dengan segmentasi terbesar di Kelas III sebanyak 21,6 juta, kata dia, total iuran dari PBPU itu sebesar Rp 12,4 triliun. Namun, klaimnya jauh melebihi total iuran, yakni mencapai Rp 39,8 triliun. “Alias defisit Rp 27,4 triliun,” kata Yustinus melalui akun Twitternya, Sabtu, 16 Mei 2020.

Dia pun membeberkan panjang lebar profil kepesertaan BPJS Kesehatan. Per 30 April 2020, total peserta 222,9 juta orang. Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96,5 juta, Bukan Penerima Bantuan Iuran 90 juta, lalu penduduk yang didaftarkan Pemda 36 juta orang.

Yustinus menjelaskan, untuk PBI sebanyak 96,5 juta orang itu iurannya dibayar pemerintah, sampai saat ini tak berubah. Lalu BPBI 90 juta, terdiri dari penyelenggara negara 17,7 juta, BUMN 1,5 juta, Swasta 35,6 juta. Sedangkan PBPU/BU sekitar 35 juta orang. Dua kelompok terakhir inilah yang selama ini membayar iuran sendiri atau mandiri.

Sedangkan kinerja keuangan BPJS, untuk PBI (orang miskin dan tak mampu) surplus Rp 11,1 triliun, ASN/TNI/Polri surplus Rp 1,3 triliun, pekerja formal swasta surplus Rp 12,1 triliun. Sedangkan pekerja informal, defisit Rp 20,9 triliun, dan bukan pekerja defisit Rp 6,5 triliun. Secara agak kasar, menurut Yustinus, akumulasi defisit BPJS Kesehatan 2019 sebesar Rp 15,6 triliun.

Adapun dia menilai, skema iuran BPJS Kesehatan terbaru menurut Peraturan Presiden 64 Tahun 2020 ada pengelompokan yang lebih baik, skema iuran yang lebih baik, dan yang jelas perbaikan kepesertaan dan watak gotong royong agar lebih adil.

“Hal bagus di Perpres 64/2020 syarat pengaktifan kembali diperlonggar. Sebelumnya harus bayar tunggakan 24 bulan. Sekarang, untuk dukungan di masa pandemi, pelunasan cukup smp 6 bulan aja. Pelunasan juga boleh sampai 2021. Pripun, enak njih?” kata Yustinus.

Dalam beleid itu juga ada penurunan denda. Pembayaran denda atas pelayanan sebesar 5 persen dari perkiraan paket INA CBG. Namun untuk dukungan di masa Covid-19, tahun 2020 hanya dikenakan denda 2,5 persen.(https://bisnis.tempo.co/read/1342986/stafsus-sri-mulyani-ungkap-data-penyumbang-defisit-bpjs-terbesar).

Apapun alasannya kebijakkan kenaikan BPJS yang diterapkan penguasa jelas tidak dapat diterima. Tindakan ini semakin menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengurus rakyatnya. Kebijakan tersebut tentu akan semakin menambah beban rakyat Indonesia.
Sebab, sudah menjadi kewajiban negara menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu publik, dan merupakan hak setiap individu masyarakat untuk mendapatkannya, gratis tanpa pungutan sepeserpun.

Ya inilah gambaran buruknya penerapan sistem kapitalis dalam mengurus urusan rakyatnya. Negara berlepas tangan dalam mengurus rakyatnya, rakyatnya dibiarkan hidup terombang-ambing dengan kebijakan zhalim yang diterapkan. Bayangkan saja untuk menanggung biaya hidup sehari-hari saat ini rakyat masih terseok-seok, ini malah dihadapkan pada naiknya iuran BPJS di tengah pandemi, tersisa satu kata “zhalim”

Saat sistem kapitalis diterapkan, maka dipastikan kehidupan rakyat tidak akan pernah sampai pada kata sejahtera, ketidakadilan akan terus melanda rakyat Indonesia.

Sejatinya tugas penguasa adalah memberikan riayah sepenuhnya kepada seluruh warganya dengan memberikan penanganan kesehatan terbaik, namun faktanya hingga detik ini riayah itu tidak didapatkan oleh rakyat, justru rakyat disuruh menanggung beban kesehatannya sendiri.

Dalam sistem kapitalis kebijakan yang diambil sarat dengan berbagai kepentingan, tak lagi pernah memikirkan nasib dan derita rakyat, terbukti walaupun MA telah membatalkan kenaikan iuran BPJS namun penguasa kembali menaikkannya. Disaat rakyat membutuhkan jaminan kesehatan gratis berkualitas apalagi ditengah pandemi dan kondisi buruk ekonomi, pemerintah malah membebani masyarakat dengan tingginya iuran BPJS.

Kondisi ini tentu tidak akan pernah berakhir jika pemerintah tidak mau mengganti sistem kapitalis yang ada dengan sistem shohih yakni sistem Islam.

Dalam sistem Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termaksuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara. Klinik dan rumah sakit merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh masyarakat dalam terapi pengobatan dan berobat. Maka jadilah pengobatan itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik.

Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashalih wa al-marafiq) itu merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Pelayanan tersebut juga harus bersifat menyeluruh dan tidak diskriminatif. Wajib bagi negara melakukannya sebab keduanya termaksud apa yang diwajibkan oleh riayah negara, sesuai sabda Rasulullah SAW “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah Bin Umar).

Hadist tersebut setidaknya menunjukkan bahwa hanya pemimpin saja yang berhak melakukan aktivitas pelayanan (ri’ayah) dan pelayanan tersebut bersifat umum untuk seluruh rakyat karena kita rakyat (ra’iyyah) dalam hadist tersebut berbentuk umum.

Kewajiban pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh negara telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil syariah. Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari urusan rakyat, bahkan merupakan pekara yang amat penting bagi mereka. Salah satu dalilnya adalah ketika Rasulullah SAW dihadiai seorang tabib, beliau menjadikan tabib itu untuk kaum muslim dan bukan untuk dirinya pribadi ( Al-Maliky As-Siyasah al-iqtishadiyyah al-Mutsla, hal 80).

Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW, pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay ( besi panas).

Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara’ secara gratis bagi yang membutuhkannya. Pelayanan kesehatan diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatannya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.

Pemberian layanan kesehatan tentu membutuhkan dana besar. Untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara.

Pemanfaatan harta tersebut sesungguhnya akan sangat cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis untuk seluruh rakyat. Itulah jaminan pelayanan kesehatan dalam sistem Islam.

Oleh karenanya sudah seharusnya penguasa mau menerapkan sistem Islam dalam pengaturan urusan kehidupan, agar segala problematika kehidupan dapat diselesaikan secara tuntas dan rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sepenuhnya. Wallahua’lam.

Loading...

Baca Juga