oleh

Damai Corona, Damai Indonesia? Opini Chusnatul Jannah

Damai Corona, Damai Indonesia? Oleh: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.

Damai menurut kamus online Bahasa Indonesia berarti tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman. Damai lawan dari kata perang. Damai mengandung konotasi positif. Hampir tidak ada manusia di dunia ini yang tidak menyukai perdamaian. Semua sepakat bahwa perang adalah sesuatu yang dibenci.

Ucapan Presiden Jokowi tentang ‘berdamai dengan corona’ menuai polemik. Tak lama setelahnya, datanglah klarifikasi dari tim Istana. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin. Bey mengatakan, maksud berdamai dengan Corona sebagaimana dikatakan Jokowi itu adalah menyesuaikan dengan kehidupan, yang artinya masyarakat harus tetap bisa produktif di tengah pandemi COVID-19.

Penyesuaian yang dimaksud Bey di antaranya selalu mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak dari kerumunan selama melakukan aktivitas. (tirto.id, 11/5/2020). Kata Bey, kita harus bisa menjalani the new normal tatanan kehidupan baru. Intinya, kudu beradaptasi dengan corona. Sebab, kapan berakhirnya pandemi corona tak bisa direka-reka.

Diksi Presiden yang viral dan ramai diperbincangkan publik mengindikasikan beberapa hal:

Pertama, pilihan kata. Kebetulan diksi yang dipakai Bapak Presiden adalah ‘berdamai’. Dalam arti, mungkin beliau bermaksud ingin menghibur masyarakat di tengah kepanikan kasus positif yang mengalami peningkatan. Meredam gejolak di tengah sengkarut pelaksanaan PSBB dan bantuan sosial. Ingin memberi aura positif agar masyarakat bersikap tenang.

Sayangnya pilihan katanya kurang pas dan tidak tepat. Kurang pas karena yang berbicara adalah seorang kepala negara. Ucapan merepresentasi diri. Kebijakan mencerminkan kualitas sebagai pemimpin. Tidak tepat karena di saat rakyat berharap banyak, seakan ada kepasrahan dan keputusasaan dalam pernyataan beliau. Seolah ingin berkata, ‘Karena corona ini tak tahu kapan berakhir, ya sudahlah, mari adaptasi dengan virus mungil ini sembari menanti vaksin hadir. Kami sudah berusaha, tapi virusnya tidak mau diajak kerjasama.’

Kedua, kebijakan serba bimbang. Dalam menetapkan kebijakan terkait kasus corona, Indonesia terbilang serba salah. Diperketat salah, dilonggarkan salah. Alhasil, mudik tetap dilarang, tapi transportasi maju jalan. Sederet program bantuan rakyat yang dibangga-banggakan di awal pengumuman, realisasinya hampir berantakan. Rakyat merasa di-PHP lagi.

Terlebih, negara tak ambil pusing urusan rakyat makan atau tidak hari ini. Seperti herd immunity. Mari andalkan ketahanan dan kekebalan diri dari virus. Istilah jawanya, ‘mati urip sekarepmu’. Pihak-pihak penertib PSBB juga sepertinya mulai lelah mengimbau masyarakat. Sudahlah negara abai, masyarakatnya pun cuek.

Ketiga, seandainya kita mulai berdamai dengan corona, apa Indonesia damai juga? Akankah slogannya berganti pula? ‘Perang melawan corona’ tak lagi dipakai diganti menjadi ‘Mari hidup damai dengan corona’. Meski kata ‘damai’ yang diutarakan Presiden bermakna tersirat, namun pada akhirnya juga tidak layak terucap.

Selain damai, kebijakan apa yang bisa menenangkan hati rakyat? Mereka mestinya tak bimbang besok makan apa. Mereka seharusnya tak bingung dengan aturan pemerintah yang berubah-ubah. Bukankah itu yang harus dipikirkan dan disolusikan? Corona tak akan membuat Indonesia damai. Pemerintah seharusnya waspada dan mawas diri. Sebab, belum ada sinyal penurunan kasus corona sejak PSBB berlaku.

Kepada penguasa negeri ini, jangan lagi memakai prinsip berbisnis dalam mengurus negara. Karena kalian dipilih rakyat bukan untuk menyulitkan mereka. Kalian dipilih untuk melayani dan mengurus urusan mereka. Rakyat bukan pembeli, penguasa juga bukan penjual. Anda beli, kami layani. Bukan seperti itu.

Corona bukan the new normal, tapi the new abnormal. Kehidupan normal yang biasa kita jalani menjadi tidak normal karena corona. The new normal itu akan terjadi manakala cara hidup kapitalisme kita tanggalkan. Sebab, kapitalisme itu tidak normal. Bikin zalim iya, bikin kesenjangan sosial tentu saja. Yang utama, kapitaslime membuat nurani pemimpin mati. Hilang empati dan peduli.

Loading...

Baca Juga