oleh

Dilematik Pejuang Wabah Ditengah Minimnya Proteksi. Opini Sartinah

Dilematik Pejuang Wabah Ditengah Minimnya Proteksi. Oleh: Sartinah, Pegiat Literasi, Member AMK

Pandemi Covid-19 yang menyerang ratusan negara di dunia termasuk negeri ini telah menelan banyak korban, tak terkecuali para petugas medis. Mereka adalah pejuang wabah yang senantiasa berada di garda terdepan dalam penanganan pasien Covid-19. Sayangnya, mereka juga yang kurang mendapat perhatian memadai dalam menjalankan tugasnya. Keluh kesah mereka pun banyak menghiasi jagat pemberitaan. Mulai dari kisah pilu terpisah dengan sanak keluarga, tidak bisa mudik lebaran, hingga bertaruh nyawa demi merawat pasien Covid-19. Sayangnya, perhatian untuk mereka sangat minim bahkan cenderung memprihatinkan.

Bagaimana tidak, jangankan memberi perlindungan utuh dan terintegrasi, bahkan proteksi finansial pun tidak kunjung diberikan. Sebagian mereka masih harap-harap cemas menanti tunjangan yang dijanjikan oleh presiden dengan kisaran 5-15 juta setiap bulan. Namun sebagian lainnya justru tidak mendapat tunjangan, bahkan THR perawat honorer dipotong, hingga ada yang dirumahkan dengan dalih rumah sakit daerah kesulitan dana. Tak kalah miris yakni banyak di antara petugas medis yang berujung pemecatan.

Sebagaimana dilansir oleh tribunnews.com, (21/5/2020), di tengah merebaknya pandemi Covid-19, ratusan tenaga medis dipecat dari RSUD Ogan Ilir. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sebanyak 109 orang karena melakukan mogok kerja sejak Jumat (15/5) lalu. Ketua DPRD Ogan Ilir, Suharto yang dimintai pendapatnya soal pemecatan 109 tenaga medis RSUD Ogan Ilir itu pun mengaku prihatin dan berharap agar para tenaga medis yang telah diberhentikan jika ingin kembali bekerja agar menerima persyaratan yang telah ditentukan RSUD Ogan Ilir.

Sungguh miris nasib tenaga medis yang berjuang di garda terdepan, tetapi tidak diimbangi dengan fasilitas yang memadai. Karut-marutnya penyediaan APD dan sarana medis lainnya hingga kini belum mampu diselesaikan pemerintah. Padahal, tenaga medis terus berguguran yang berakibat semakin berkurangnya jumlah prajurit yang mesti bertarung di medan tempur.

Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil mengutip data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada Senin pekan lalu. Data tersebut menyebutkan, hingga hari itu terdapat 24 dokter dan 6 perawat yang meninggal dunia akibat menangani Covid-19. (kompas.com, 13/4/2020)

Minimnya proteksi terhadap tenaga medis, menjadi sinyal buruknya perhatian dan perlindungan dari negara. Tak hanya itu, kebijakan yang inkonsisten terkait penanganan Covid-19, seolah menunjukkan kegagapan negara dalam menangani wabah. Bahkan, dikeluarkannya kebijakan “new normal” di tengah kurva virus corona yang belum melandai menyiratkan aroma tak sedap, bahwa negara lebih memprioritaskan ekonomi ketimbang nyawa rakyat.

Kebijakan setengah hati penguasa yang tidak memprioritaskan keselamatan rakyat dengan maksimal, menjadi karakter periayahan negara di bawah sistem kapitalisme. Kapitalisme yang tegak di atas asas materi, telah menjadikan negara bermetamorfosis bak sebuah perusahaan yang hanya berhitung untung-rugi jika berurusan dengan rakyat. Maka tak heran, dalam setiap kebijakannya terkesan setengah hati dalam mengurus dan menyediakan layanan terhadap rakyatnya. Termasuk dalam menyediakan sarana dan prasarana maksimal untuk garda terdepan penganganan pasien Covid-19.

Pengabaian terhadap kesejahteraan dan keselamatan tenaga medis jelas tidak dikenal dalam Islam. Sebab, Islam sangat menjaga dan menghargai keselamatan satu nyawa. Tak terkecuali para tenaga medis yang menjadi pejuang wabah seperti saat ini.

Islam telah menorehkan tinta emas dalam sejarah peradabannya sebagai sistem yang mewujudkan pelayanan terbaik sepanjang masa. Sebagai garda terdepan penjaga kesejahteraan rakyat, negara benar-benar menjadi periayah dalam semua urusan rakyat termasuk urusan kesehatan. Untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawabnya, negara mengelola sendiri sumber daya alam yang ada guna terwujudnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas terbaik serta terpenuhinya tiga aspek, yakni ketersediaan, kesinambungan, dan ketercapaian.

Hasilnya, rumah sakit, dokter, dan paramedis tersedia dengan sangat memadai. Negara juga memfasilitasi berbagai aspek demi terwujudnya standar pelayanan terbaik. Serta pengembangan aspek ilmu pengetahuan, ketersediaan obat dan alat-alat kedokteran kualitas terbaik. Tak kalah penting, para dokter dan tenaga medis diberikan gaji yang memadai serta beban kerja yang manusiawi. Hal ini jelas memberi ketenangan dan kenyamanan para petugas medis dalam menjalankan kewajibannya.

Sungguh, Islam telah menempatkan manusia di atas kepentingan ekonomi dalam setiap pelayanannya. Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, baik muslim maupun nonmuslim memperoleh keadilan yang sama tanpa diskriminasi. Hanya saja, kesejahteraan dan keadilan hanya mungkin diwujudkan jika Islam dijadikan sebagai solusi atas karut-marutnya persoalan yang menjerat negeri ini.

Wallahu a’lam bishshawab

 

Loading...

Baca Juga