Golput dan Mengajak Orang Untuk Golput Bukanlah Tindak Pidana dan Tak Dapat Dipersoalkan Secara Hukum [Catatan Hukum Pilkada Ditengah Pandemi, Seruan Golput Seruan Menyelamatkan Nyawa Rakyat].
Ditulis oleh: Ahmad Khozinudin, Advokat, Sastrawan Politik.
Meskipun dua ormas Islam terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah telah menyampaikan nasehat agar Pemerintah menunda Pilkada di tengah Pandemi, nampaknya Pemerintah tak bergeming.
Pemerintah, DPR, Partai Politik dan KPU tetap akan melanjutkan agenda Pilkada. Pelaksanaan pemungutan suara akan tetap digelar secara serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, menyatakan akan Golput dalam Pilkada tahun ini, sebagai bentuk empati terhadap sejumlah korban kematian dokter, petugas medis dan masyarakat umum akibat terinfeksi virus Corona. Sejumlah masyarakat juga berencana akan Golput, dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari ancaman infeksi virus Corona dari kluster Pilkada.
Menanggapi sikap Azzumardi Azra, KPU melalui Ilham Saputra pada Jumat (25/9/2020) menyebut tidak bisa melarang jika ada yang ingin golput, karena itu merupakan hak konstitusional. KPU mengaku hanya bisa fokus dan tidak akan berhenti menyosialisasikan Pilkada 2020.
Namun apakah mengajak untuk Golput, atau mengajak rakyat untuk tidak menggunakan hak suaranya dan memilih mentaati protokol kesehatan, untuk tetap diam dirumah, menerapkan kebijakan Physical Distancing, dapat dipidana?
Untuk menjawab hal itu, berdasarkan asas legalitas penting untuk dikaji beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, adakah norma hukum dan perundangan yang secara formal dan eksplisit melarang ajakan atau seruan Golput? Apakah ada sanksi bagi individu atau lembaga yang mengajak Golput?
Kedua, adakah norma hukum dan perundangan yang secara materiil dan implisit melarang ajakan atau seruan Golput? Apakah ada sanksi bagi individu atau lembaga yang mengajak Golput?
Mengenai subtansi pertama, yakni adakah norma hukum dan perundangan yang secara formal dan eksplisit melarang ajakan atau seruan Golput atau adakah sanksi bagi individu atau lembaga yang mengajak Golput, jawabnya adalah TIDAK ADA.
Sumber norma hukum Pemilukada adalah UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU ini menggabungkan pemilihan Presiden, DPR dan DPD dalam satu rezim perundangan, yang sebelumnya terpisah. UU ini mengalami beberapa kali perubahan.
Sedangkan, sumber norma hukum pelaksanaan Pemilukada adalah Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Dari dua sumber hukum baik UU Pemilu maupun UU Pilkada, keduanya tidak memuat adanya norma larangan untuk golput atau mengajak individu atau institusi untuk Golput baik secara eksplisit maupun implisit. Tidak ada satupun pasal yang menyatakan melarang dan memberikan sanksi bagi orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau mengajak orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput).
Memang benar ada larangan dan sanksi bagi orang yang menyebabkan orang lain kehilangan hak suaranya, yaitu dalam ketentuan Pasal 178 UU Pilkada, yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Atau Pasal 182 yang menyatakan:
“Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Mengajak Golput bukanlah menghilangkan hak suara, tetapi ajakan untuk tidak menggunakan hak suara. Jadi ketentuan pasal 178 UU Pilkada tidak dapat digunakan untuk menjerat pidana seruan Golput.
Mengajak Golput bukanlah menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan namun hanya ajakan untuk tidak memilih. Terserah, ajakan boleh diikuti boleh juga ditolak.
Mengajak Golput bukanlah perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan, namun hanya ajakan secara argumentasi yakni karena mewabahnya pandemi, agar rakyat tidak memilih guna menghindari infeksi virus Corona. Terserah saja bagi yang diajak, ajakan ini boleh diikuti boleh juga ditolak. Ketentuan pasal 182 UU Pilkada tak dapat digunakan untuk menjerat secara pidana bagi seruan Golput.
Alhasil, dari penjelasan tersebut di atas ajakan untuk Golput tidak memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam pasal 178 dan pasal 182 UU Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Bagi masyarakat yang ingin Golput, atau mengajak anggota masyarakat lainnya untuk Golput guna menghindari virus Corona dijamin oleh hukum dan konstitusi, dan bukan merupakan tindak pidana. Jadi, jangan mau dibodohi dan ditakut-takuti golput akan dipidana.