oleh

Jokowi Bisa Dijemput Paksa Interpol ke Pengadilan Internasional

FOKUSBERITA.ID – Usai penandatanganan Piagam Cikini 2019, ujung perjuangan Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) bisa membuat pengadilan internasional (PI) mengutus Interpol (polisi internasional) untuk menjemput paksa Presiden Republik Indonesia. Tentu saja hal ini akan menjadi preseden buruk di mata dunia internasional.

Demikian dikatakan Koordinator Eksekutif JAKI, Yudi Syamhudi Suyuti, saat dihubungi suaramerdeka.id melalui sambungan telepon, Kamis (17/1/2019). Yudi mengaku para ativis terpaksa melakukan ini karena  sampai saat ini belum ada keseriusan pemerintah dalam menangani korban HAM dan kriminalisasi.

“Sebenarnya masalah ini sudah dipersiapkan sejak lama, bahkan sebelum terjadi kasus kriminalisasi makar 212. Penandatangan Piagam Cikini 2019 itu adalah finalisasinya,” jelas Yudi.

Lanjut Yudi, selama ini para aktivis memang belum menindaklanjuti pencarian keadilan ke lembaga internasional. Mereka masih percaya bahwa pemerintah punya keinginan untuk menuntaskan  persoalan HAM dan kriminalisasi. Namun kepercayaan para aktivis saat ini sudah mulai luntur, bahkan hilang. Alasan inilah yang membuat JAKI akan melaporkan Jokowi ke PI.

“Dalam dua atau tiga minggu semua berkas akan dikirim ke pengadilan internasional. Kuasa hukum kami disana sudah berkonsultasi, mereka tinggal menunggu berkasnya saja. Jika berkasnya disetujui, maka pengadilan internasional akan memanggil Jokowi ke pengadilan internasional yang ada di Den Haag. Kalau Jokowi tidak mau, mereka bisa meminta interpol untuk menjemput paksa.”

Yudi menjelaskan bahwa kasus pemanggilan presiden oleh PI, bukanlah hal baru. Seseorang atau organisasi atau negara bisa melaporkan siapapun, termasuk presiden yang masih memerintah. Bahkan presiden Indonesia pun menurut Yudi, pernah mengalaminya.

“Saya jadi teringat, dulu pak SBY pernah akan ditangkap oleh aparat dari Pengadilan Internasional untuk diadili. Meskipun baru dalam proses awal peradilan, dan belum diputus bersalah atau tidak. Tapi karena pak SBY tidak jadi ke Belanda, sehingga tidak jadi ditangkap untuk diadili,” jelas Yudi.

Lanjut Yudi, kuasa hukum SBY kemudian meminta PI untuk mempercepat penyelidikan. Hasilnya, SBY dianggap oleh Majelis Hakim PI tidak melanggar HAM. Gugatan yang diajukan itu pun ditolak.

“Tetapi jika rezim Jokowi kemudian dilaporkan dalam situasi sekarang seperti ini. Kemungkinan tidak harus saat ke Belanda. Tetapi bisa dijemput oleh aparat Pengadilan Internasional untuk dibawa dan diadili di tempat yang ditentukan. Bisa di negara yang menjadi anggota yang memiliki Pengadilan Internasional. Tapi bisa juga dibawa ke Belanda untuk diadili,” kata Yudi.

Mengenai aparat pengadilan yang dimaksud, Yudi menjelaskan PI akan menunjuk siapa pelaksananya. Untuk kasus kejahatan perang, PI akan menunjuk kekuatan militer internasional,seperti NATO. Untuk pelanggaran HAM, yang ditunjuk interpol.

Koordinator Eksekutif JAKI ini mengingatkan bahwa jika seseorang sudah diputus bersalah oleh PI, maka tidak akan ada lagi banding. Karena tidak ada lagi pengadilan yang lebih tinggi.

“Sifat putusan pengadilan internasional adalah mutlak. Seumpamanya Indonesia menolak keputusan tersebut, maka yang terjadi ya sudah jelas. Kita akan diperangi oleh dunia,” tutup Yudi. (DVD)

Loading...

Baca Juga