oleh

Jurus Mabuk Dewa Survei, Sebuah Opini Mochammad Sadun

Jurus Mabuk Dewa Survei. Oleh: Mochammad Sa’dun Masyhur, alumnus MPKP UI, dan peneliti senior CIDES.

Belakangan ini jagad politik nasional diwarnai polemik tentang hasil survei Pilpres. Polemik itu muncul karena adanya perbedaan hasil yang cukup mencolok di antara beberapa lembaga survei (LS).

Sejak awal pertarungan Pilpres, sesunguhnya banyak pihak yang telah mencurigai, keberadaan beberapa lembaga survei yang menjadi bagian dari tim sukses salah satu capres. Kecurigaan itu beralasan, karena tampak sekali, mereka berpihak dan memainkan jurus, membela yang bayar. Mungkin karena ingin menang mudah, sehingga jurus-jurus survei dikerjakan dengan serampangan, dan mudah dibaca sebagai survei pesanan, jika tidak boleh dikatakan sebagai survei abal-abal.

Awalnya mereka berkomplot mengiring opini. Polanya dengan terus menerus, merelease perolehan suara petahana di atas 55%. Bahkan ada yang membabi buta dengan menetapkan kemenangan petahana di atas 60%.

Sayangnya jurus awal itu, tidak serta merta diikuti oleh sentimen dukungan rakyat. Rakyat justeru curiga bahwa lembaga-lembaga survei itu, hanya menjadi kacung petahana, dan membodohi rakyat.

Walhasil tiga bulan setelah pencalonan, suara petahana tidak juga beranjak naik. Rakyat tampak kecerdasannya, mereka mulai menandai suatu kebenaran, adanya beberapa lembaga survei abal-abal itu.

Berbagai cibiran pedas kepada lembaga survei, kemudian banyak mengemuka, khususnya di media sosial. Serangan itu terus berlanjut dan kepercayaan kepada lembaga survei yang berpihak pada petahana, menjadi semakin surut. Jurus pertama ini, gagal total.

Dua bulan terakhir beberapa lembaga survei kemudian menjalankan jurus maut. Mereka berupaya menyebarkan berbagai informasi dan isu yang dapat menjatuhkan elektabilitas Prabowo Sandi. Sebaliknya berbagai isu yang dapat menaikkan Jokowi, digenjot dalam berbagai bentuk.

Melihat peluang itu, Denny JA (DJA) tampil seolah sebagai seorang dewa Survei. Ia melakukan apa-saja untuk menjatuhkan reputasi Paslon 02. Mulailah ia menyebarkan beberapa meme, dan berkembang secara sangat masih dan agresif. Ia percaya bahwa era komunikasi politik sudah berubah. Meme, diakuinya menjadi sejenis “makanan cepat saji,” yang murah, cepat, tapi laris, dalam politik era digital.

Logika yang dibangun Denny benar, namun seribu kali sayang, meme yang disebar DJA, malah menjadi bumerang. Tampak sekali ia menggunakan meme itu sebagai jurus setengah mabuk, dengan menyebarkan isu apa saja. Baginya yang penting lawan tersungkur.

Alih-alih meningkatkan elektabilitas petahana, isinya yang picisan, penuh kebohongan dan memutar balik akal sehat, menjadikan banyak orang antipati terhadap DJA. Wajar jika Adhie Massardi, menyatakan bahwa isi meme DJA itu mengandung sesat pikir dan memperkosa tata nilai.

Atas berbagai serangan itu, DJA mulai kewalahan menghadapi semakin merosotnya kepercayaan masyarakat. Ia kemudian menulis artikel khusus, untuk menaikkan reputasinya, berjudul, puncak pencapaian survei, quick count dan konsultan politik.

Isinya dapat diduga bahwa ia seolah-oleh sebagai seorang dewa survei, yang tidak tertandingi oleh siapapun. Dengan selalu mengutip bahwa semua prestasi terbaik, tertinggi dan tercapai telah LSI DJA, dan sudah tercatat dalam rekor MURI. Di sinilah DJA secara terang-terangan membabtis dirinya sendiri sebagai pribadi yang seolah memiliki otoritas penuh terhadap kebenaran dunia survei.

Padahal semua orang tahu, LSI DJA juga banyak mengalami kegagalan dan tidak akurat. Paling tidak ia gagal memprediksi kemenangan Anies Sandi di Pilkada DKI. Ia juga meleset jauh, saat memprediksi perolehan suara Sudrajat-Syaikhu di Pilkada Jabar dan Sudirman-Ida di Jateng belum lama berselang.

Sebagai orang yang merasa paling jumawa di dunia survei, bagaimanapun ia tetap memiliki nurani yang tidak dapat disembunyikan. Setidaknya DJA mengakui bahwa dimana saja Prabowo atau Sandiaga Uno tampil, massa yang datang lebih banyak. Kerumunan yang berkumpul lebih bersemangat. Fakta yang lain di medsos, Paslon 02, juga dominan menguasai medan pertempuran.

Namun bukan DJA jika keangkuhannya tidak mengalahkan nuraninya. Dengan mengutip kisah Bernie Sanders, menurutnya, meskipun kerumunannya lebih banyak, nyatanya Bernie bukan saja tidak terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Ia bahkan dikalahkan oleh Hillary Clinton, pada putaran awal.

Analisa DJA tersebut, jelas mengabaikan fakta di lapangan. Karena kerumunan massa Prabowo Sandi tidak hanya di satu propinsi, otomatis tidak bisa disandingkan dengan Bernie Sanders yang kerumunannya hanya di sejumlah kecil negara bagian saja.

Nyatanya kekuatan massa Paslon 02, tidak hanya di tingkat provinsi, tetapi menyebar hingga ke tingkat kabupaten, bahkan saya berani bersaksi bahwa relawan PADI bergerak hingga ke pelosok-pelosok desa. Suatu kekuatan yang tidak terlihat pada pasangan Jokowi Makruf, yang justeru dimana-mana tampak kedodoran mengerakkan massa, meskipun dengan bayaran dan imbal jasa yang cukup.

Kepongahan DJA juga terlihat dari sikapnya saat menanggapi hasil survei Litbang Kompas, yang menempatkan Jokowi di posisi terancam, karena elektabilitas Jokowi Ma’ruf berada pada angka kompromi demi NKRI sebesar 49,2 persen. Hasil survei, yang menurut banyak sumber di internal Kompas angka aslinya dikisaran 45 persen itu, dapat dibaca bahwa lebih dari 50% pemilih tidak lagi menghendaki Jokowi Ma’ruf. Karuan hal itu menjadi terror bagi pendukung Jokowi, dan cukup menohok ulu hati pendukung seperti DJA.

Pantaslah jika DJA kemudian bereaksi keras. Ia menuduh bahwa seolah Litbang Kompas telah berpolitik. DJA bahkan menyerang pribadi pemred Kompas, dan mengungkap ada hubungan khusus dengan Prabowo.

Tidak puas sampai disitu, DJA kemudian menulis esai berjudul, kesalahan survei Kompas, efek Ajinomoto dan logical fallacy. Isinya jelas mengadili dan menjatuhkan reputasi Kompas, dengan bangunan logika, bahwa hanya dialah yang benar.

Berbagai sikap dan tindakan DJA diatas, memperlihatkan bagaimana ia sesunguhnya, selalu melancarkan jurus-jurus mabuk. Demikian halnya angka-angka survei dan analisa data yang dipaparkan, seringkali spekulatif. Tidak jelas lagi apakah ia seorang peramal atau intelektual. Adakalanya ia menetapkan pilihan sikap politik sebagai seorang penjudi yang ulung.

Melihat itu, saya sangat takut, jika DJA sesunguhnya hanyalah seorang dewa mabuk dan penjudi yang tersesat di dunia survei.

Loading...

Baca Juga