Menagih Janji KPK Untuk Menuntut Pidana Mati Dalam Kasus Dugaan Korupsi Mensos Juliari Peter Batubara.
Ditulis oleh: Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Publik dikejutkan oleh kabar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang atau jasa terkait bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19. Mengingat, saat ini segenap rakyat sedang bertaruh nyawa ‘perang’ melawan virus Corona. Tega-teganya, ada pejabat yang korupsi dana sosial bagi rakyat.
Dalam kasus ini, Mensos disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Menilik Konstruksi hukum yang dapat diformulasikan dari kasus ini sulit untuk dijadikan sandaran penuntutan perkara dengan pidana mati. Mengingat, ancaman pidana pasal 12 a dan 12 b UU Tipikor adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apalagi, jika yang terbukti hanya pasal 11 UU Tipikor yang ancaman pidananya hanya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri pernah berjanji lembaganya akan memberikan hukuman tegas bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi di tengah suasana bencana pandemi corona COVID-19. Tak tanggung-tanggung, Firli mengancamnya dengan pidana mati. Hal itu pernah dikatakan Firli saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI membahas penanganan Covid-19, pada Rabu 29/4/2020 yang lalu.
Namun, dari pasal yang diterapkan KPK nampaknya sanksi hukuman mati bagi Mensos hanya akan menjadi mimpi. Sebab, pasal 11 dan 12 (a dan b) tidak dapat dituntut pidana mati.
Perlu diketahui, Pidana Mati bagi Koruptor hanya berlaku pada kasus pelanggaran pidana korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Dalam putusan MK tersebut dikatakan :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor kemudian menegaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
Status wabah COVID-19 di Indonesia sendiri telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional. Itu artinya segala penyimpangan dana anggaran Covid-19 terkategori keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, termasuk pidana mati.
Hanya saja, peluang itu baru terbuka jika dalam pemeriksaan tambahan ada pengembangan kasus, bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Mensos bukan saja terkait pasal 11 dan 12 UU Tipikor, tapi juga pasal 2 UU Tipikor terkait tindakan yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara.
Pemeriksaan terhadap Mensos harus dikembangkan, bukan saja fokus terhadap penerimaan suap yang diduga dilakukan Mensos, tetapi terkait adanya dugaan pelanggaran hukum berupa perbuatan yang melawan hukum dari kebijakan yang dikeluarkan Mensos yang menyebabkan terjadinya penyimpangan alokasi anggaran Bansos untuk Covid-19. Dengan demikian, KPK dapat menjerat Mensos dengan pasal 2 UU Tipikor dan dapat menerapkan tuntutan pemberat berupa pidana mati dalam perkara ini.
Hanya saja KPK pasti akan menghadapi jalan terjal dan berliku jika menerapkan pasal 2 UU Tipikor dengan target pidana mati. Mengingat, adanya Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Perpu 1/2020 (kemudian menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020) yang berbunyi:
“Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.”
Selain itu ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 2/2020, Pasal 27 ayat (2) dan (3) UU Nomor 2/2020 lebih lengkap menyatakan :
“Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”
Pasal 27 Perpu UU 2/2020 ini bisa dijadikan Mensos untuk melegitimasi kebijakannya dan karenanya pasal 2 UU Tipikor akan mandul dan tak dapat menjerat Mensos dari pidana mati.
Hanya saja KPK masih bisa mendatangkan saksi ahli seperti yang pernah disampaikan oleh Feri Amsari, yang pada pokoknya memberikan pendapat bahwa Pasal 27 ini tidak dapat meloloskan siapapun jika terjadi penyalahgunaan anggaran untuk tujuan tidak sebagaimana mestinya. Menurut Amsari, pasal itu harus dianggap agar pejabat tidak ragu bertindak demi kepentingan negara, tetapi kalau menyimpang tetap harus dihukum.
Poin pentingnya adalah bahwa publik menagih janji KPK untuk menuntut pidana mati. Soal apakah hakim mengabulkan, apakah pasal 27 UU Nomor 2 tahun 2020 akan efektif dijadikan bunker untuk berlindung para koruptor in casu Mensos, itu persoalan lain.
Jika KPK memproses Mensos dengan meningkatkan pada penyidikan berdasarkan pasal 2 UU Tipikor dan menuntut dengan pidana mati, maka publik dapat mempercayai janji KPK sekaligus dapat menaruh harapan kepada KPK. Jika tidak, maka semua yang digelar dihadapan publik saat ini hanyalah parodi penegakan hukum, sekedar memulas citra untuk kepentingan KPK