New Normal, antara Bisnis dan Nyawa? Oleh: Lailla Rahmadani, Aktivis Muslimah Papua.
Pandemi global Covid-19 belum juga usai. Negara-negara di dunia mulai “kualahan” menghadapi dampak ekonomi yang ditimbulkannya, tak terkecuali Indonesia. Sejak Covid-19 terkonfirmasi tiga bulan lalu, himbauan “stay at home” dan social distancing serta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah mengakibatkan perekonomian Indonesia lumpuh, daya beli masyarakat melemah, angka penganguran dan PHK meningkat. Pemerintah kini menerapkan kebijakan tatanan kehidupan baru atau “new normal”.
“Keselamatan masyarakat tetap harus menjadi prioritas. Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi resiko wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru,” kata Jokowi.(Detik.com, 1/6/2020)
Kebijakan pemerintah tersebut banyak menuai pertentangan dari berbagai kalangan masyarakat. Pemerintah dianggap memaksakan kebijakan tersebut saat Indonesia dirasa belum siap dalam menghadapi “new normal”.
Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus virus corona covid-19 di Tanah Air masih tinggi. Ridwan menjelaskan, setiap negara pasti akan memikirkan dua hal, yakni bagaimana menangani covid-19 dan bagaimana roda perekonomian tetap berjalan. Diandaikan sebagai piramida, sebuah negara akan menyelesaikan masalah keamanan dan kesehatan publik, lalu ketika pandeminya sudah dapat dikendalikan, barulah masuk ke konsen ekonomi. Kalau melihat dari piramida itu, Indonesia justru langsung lompat ke tahap kedua yakni memikirkan menjalankan roda perekonomian meski pandemi covid-19 belum selesai.(kanalkalimantan.com, 28/5/2020)
Dikutip dari tirto.id, Relawan Laporcovid-19 yang juga Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, Ahmad Arif menilai, kondisi ke depan lebih tepat disebut new abnormal atau kondisi tak normal. Alasannya, pandemi yang belum mereda bukan berarti orang bisa bebas ke mal seperti saat sebelum ada wabah.
Menurut dia, bagi negara yang masuk ke new normal harus ada syaratnya. Negara harus bisa memastikan wabahnya terkendali. Di antaranya kurva melandai dan selama 14 hari ada penurunan kasus secara signifikan. Salah satu indikator new normal adalah penurunan angka penularan virus atau reproduction rate (RO) di bawah 1 yang berarti 1 orang penderita Corona tidak menulari orang lain. Saat ini, angka RO Indonesia adalah 2,5 artinya satu penderita bisa menularkan ke 2,5 orang.
Arif mengingatkan agar pemerintah Indonesia bisa mengendalikan wabah saat ada pembukaan tempat kerja yang dibarengi dengan jaminan penurunan persebaran virus. “Kalau wabah tidak dikendalikan, bukan lagi new normal, tapi bencana baru,” tegasnya.(tirto.id, 29/5/2020)
Nampaknya pemerintah lebih memihak kepada para kapitalis dan bukannya rakyat. Seolah perbaikan ekonomi lebih berharga daripada nyawa manusia.
Kebijakan “new normal“ sebenarnya hanya menguntungkan para kapitalis, rakyat dengan kelas ekonomi menengah dan atas yang secara ekonomi telah mapan. Bagaimana tidak? Mereka bisa melakukan Work From Home (WFH) atau tinggal di rumah (Stay at Home) tapi tetap berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian atau perumahan mereka. Dengan kata lain, walaupun tidak di kantor tapi mereka tetap di gaji, atau sebagian kalangan atas tetap menerima pasive Income dari investasi mereka. Atau sebagian yang lain tinggal menikmati jerih payah karena tinggal mantab (baca: mangan tabungan) saja dari investasi tabungan yang mereka lakukan. Golongan merekalah yang siap menjalankan kehidupan New Normal. Mulai dari protokol Kesehatan Covid -19 seperti cuci tangan, pakai masker, tetap di rumah (stay at home), serta WFH sampai digitalisasi aspek kehidupan mereka.
Sedangkan bagi rakyat kelas ekonomi rendah akan banyak hal yang yang harus mereka perhitungkan. Misalnya memakai masker tiap hari. Bagi mereka untuk makan saja susah apalagi untuk membeli masker. Untuk sekedar cuci tangan dengan pembersih kuman pun mereka akan berpikir seribu kali karena uangnya dipakai untuk membeli beras untuk makan. Himbauan pemerintah untuk tetap di rumah pun mereka terpaksa langgar agar dapat makan. Demikian juga untuk pembelajaran daring (online), misalnya untuk yang orang tuanya kelas bawah tentu memberatkan karena pembelian kuota internet yang melonjak drastis.
Inilah buah penerapan sistem kapitalis yang diadopsi negeri ini. Kebijakan-kebijakan yang diambil hanya menguntungkan segolongan orang bermodal besar, yakni para kapitalis. Sebab tidak dapat pungkiri bahwa wabah membuat bisnis para kapitalis mengalami sakaratul maut. Jika kebijakan PSBB terus diterapkan maka hancurlah bisnis mereka. Tentu pebisnis tak ingin rugi. Dengan dalih memperbaiki ekonomi, kebijakan “new normal” sejatinya untuk menyelamatkan para kapitalis.
Memprioritaskan bisnis adalah sifat asli kapitalisme. Nyawa manusia baginya sekedar angka tak bermakna, seolah tak ada harganya. Padahal ekonomi akan hidup kembali jika pandemi usai, namun nyawa yang telah gugur tidak akan pernah kembali hidup.
Pemerintah seharusnya memprioritaskan bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19. Keselamatan nyawa manusia harusnya lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan bisnis segelintir orang.
Karena itu solusinya tidak lain adalah penerapan syariah Islam secara totalitas. Penerapan karantina/lockdown syar’i yang didukung dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam akan mampu dengan mudah mengatasi dan mengendalikan wabah. Nyawa manusia pun bisa terselamatkan dan roda ekonomi juga tetap bisa berjalan.
Sebab isolasi/karantina adalah di antara tuntunan syariah Islam saat wabah terjadi di suatu wilayah. Rasul saw. bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu”. (HR al-Bukhari).
Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karenanya suplay kebutuhan untuk daerah tersebut tetap harus dijamin. Tindakan cepat isolasi/karantina ini cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Sedangkan daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.
Inilah petunjuk syariah Islam yang akan mampu menjaga kesehatan dan nyawa rakyat tanpa mengesampingkan pemeliharaan ekonomi. Kebijakan inilah yang harusnya diambil oleh pemerintah pada saat pandemi Covid-19 terkonfirmasi pertama kali di Indonesia. Sehingga rakyat akan benar-benar mampu menjalankan kehidupan normal. Bukan seperti hari ini, menerapkan kebijakan “new normal” ditengah kondisi abnormal yang justru membahayakan nyawa.
Sebab dalam Islam, nyawa seseorang—apalagi nyawa banyak orang—benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi, karenanya wajib dijaga. Allah swt. berfirman:
وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32)
Nabi saw. juga bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim”. (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Demikianlah syariat Islam, sistem dari Sang Pencipta manusia, Allah swt. Ketika syariat ini diterapkan dalam rangah negara maka akan menjadi solusi terbaik dalam menangani berbagai permasalahan kehidupan, termasuk mengatasi pandemi yang saat ini melanda. Wallau’alam bi Ash shawab.