oleh

Pengamat Sosial Politik, Malika Dwi Ana: Bangsa Yang Bingung

BANGSA YANG BINGUNG
Catatan Kecil Pojok Warung Kopi Ndeso

Oleh: Malika Dwi Ana
(Pengamat Sosial Politik – Penggiat Institute Study Agama dan Civil Society)

Politik atau siyasah itu hakikatnya tidak identik dengan kekuasaan. Politik berurusan dengan teknik pengambilan kebijakan untuk kepentingan banyak orang. Tetapi, arti politik sekarang, telah direduksi menjadi sekedar rebutan kekuasaan, ketimbang pengurusan urusan banyak orang atau rakyat.

Fungsi politik Harold Laswell dalam Who Gets What, When and How, kapan dan bagaimana, yang lebih mengedepankan masalah politik berkutat dalam masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, digunakan oleh para politikus dewasa ini sebagai dalil untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal.

Maka keberpihakan pada pilihan yang tak lebih memuliakan satu sama lain, tak lebih baik, atau sama-sama jeleknya itu sebenarnya untuk apa, jika realitasnya sama-sama meraup kebodohan dari hari ke hari. Realistis saja, kedua kubu (capres-cawapres 2019) punya orang-orang yang cuma mau numpang kursi kekuasaan. Punya orang-orang yang konyol, yang tempurung otaknya entah dimana. Tapi bukan itu fokus saya. Buat saya yang bikin mana tahan itu adalah perasaan diri mereka lebih mulia. Berada di jalan kebajikan. Padahal ya mbelgedes semua. Munafik to the max!

Punya buzzer dan pasukan pencitraan yang harusnya bisa bikin positif, ternyata kerjaannya cuma buat mengharass atau menghasut orang. Lebih mirip dengan kompor mleduk. Akhirnya ribut! Arogansi itu yang bikin kondisi sosial politik tidak pernah adem hingga kini.

Kampanye yang harusnya bisa damai. Asal kita paham yang kita lawan bukan sekedar petahana atau oposisi. Yang kita lawan itu juga politisi-politisi penjilat, gedibal, kesed amoh yang rela dan menginginkan kita berantem. Hanya agar mereka naik ke kursi kuasaan. Tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka yang hanya mementingkan perut sendiri. Intinya, periuk nasi terisi apapun caranya.

‌Digorenglah ketakutan-ketakutan yang berlebihan, sehingga menjadi hidangan yang siap membuat orang-orang keracunan atau mabok. Kubu pertama, parno terhadap militerisme, penculikan, islam radikal, khilafah, HTI, dan embuh, entah apa lagi. Kubu kedua, parno kebangkitan PKI, liberalisme, kolonialisme Cina dan lain-lain. Akhirnya kubu pertama dan kedua ini sama saja, memilih berdasarkan ketakutannya masing-masing.

Sebenarnya, masing-masing harusnya bisa saling mendialogkan ketakutan-ketakukannya sehingga akhirnya ketakutan-ketakutan itu tak perlu ada. Para kreatif kampanye maupun timses saya pikir tahu benar dan membaca potensi ketakutan itu tapi bukannya mencari titik temu malah mengunakan itu sebagai bahan bakar konflik dan perpecahan.

Padahal, hulu persoalan adalah siapapun yang menguasai ekonomi, akan mengontrol kehidupan politik, maka dia yang akan mengontrol kehidupan masyarakat dan Bangsa. Karena politik itu menyangkut keputusan-keputusan penting demi hajat hidup orang banyak.

Malangnya, UUD 45 khususnya pasal 33 tentang hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai oleh negara, berubah bunyi dan substansi, jadi penguasaan hajat hidup orang banyak dikuasai segelintir elit kekuasaan, swasta bahkan asing. Dan rakyat kehilangan kedaulatannya. Inilah kediktatoran yang nyata, UU diatur sedemikian rupa agar menjadi alat serta ruang legal formal untuk mengembangkan kekuasaan segelintir elit, alias klik pemodal.

Demokrasi Pancasila yang digembar-gemborkan menjadi sekedar jargon tipu-tipu, karena sebenarnya yang berlaku adalah demokrasi sakkarepku dhewe, kehendaknya semdiri, asal diri dan kelompoknya bahagia, asal diri dan sekelompoknya bisa terjamin masa depannya selama tujuh turunan, demokrasi “miras oplosan”, tidak hanya memabukkan tetapi juga mematikan, akibat kesenjangan yang tajam, dan kemiskinan akut yang merongrong mental spiritualnya.

Dan ini adalah hakekat demokrasi liberal, yang sejak kelahirannya pada Revolusi Perancis, dipelopori oleh para pemilik modal. Slogannya “Liberte, Egalite, Fraternite”, hanyalah untuk segelintir orang, pada kenyataannya yang kuat menghabisi yang lemah, baik dengan cara halus maupun kasar. Ada yang suka banget ngomong NKRI HARGA MATI. Harga mati mbahmu, wong realitasnya sudah liberal total, tidak ada bentuk republik lagi di sini, mau apa kalian?

Kesenjangan ekonomi itulah sesungguhnya persoalan pokok yang sedang kita hadapi, persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan.

Jadi kenapa mesti mati-matian membela dan berkubu? Perang kalian ini perang Wewe Gombel, kalian diadu tapi gak merasa, kalian masuk arena aduan dengan suka cita dan bahagia. Padahal, di atas semua ini ada yang tertawa-tawa bahagia. Ini yang tidak disadari.

Begitulah, hari-hari bangsa yang bingung, meraup kebodohan dari hari kehari, dan tidak percaya akan dirinya sendiri. Kehilangan jati dirinya beratus kali selama beratus tahun. Begitu terus ceritanya.

Kopi_kir sendirilah!

#kopitalisme #kopilosophi #kopistory from #Malawu_omahkopi

Loading...

Baca Juga