oleh

Polisi Telah Tetapkan Pembawa dan Pembakar Bendera di Garut Sebagai Tersangka

FOKUSBERITA – Polisi telah menetapkan dua tersangka pembakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid pada Senin (22/10/2018) lalu. Dua orang tersebut, satu berinisial M dan satunya berinisial F. Keduanya diduga yang melakukan pembakaran.

“Iya sudah jadi tersangka. Penetapan tersangka berdasarkan pemeriksaan saksi dan juga alat bukti. Termasuk, pemeriksaan terhadap penyusup pembawa bendera bertuliskan kalimat tauhid tersebut,” kata Direktur Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Pol. Umar Surya Fana saat dihubungi, pada Senin (29/10/2018).

Dengan demikian, Polisi telah menetapkan tiga orang tersangka terkait kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang digelar di Alun-Alun Garut, Jawa Barat. Mereka yakni dua orang pembakar bendera, F dan M, serta U yang membawa bendera tersebut. Sehingga menimbulkan kegaduhan.

“Tiga orang tersangka, satu orang yang membawa bendera, dua orang yang membakar bendera,” Lanjut Umar.

Pembawa Bendera juga ditetapkan sebagai tersangka atas pelanggaran Pasal 174 KUHP. Pada Jumat (26/10/2018). Bunyi Pasal 174 adalah, “Siapa pun yang mengganggu rapat umum dengan mengadakan huru-hara atau membuat gaduh dihukum paling lama tiga minggu dan denda Rp. 900”. Karena ancamannya di bawah lima tahun, maka Polisi tidak melakukan penahanan terhadap U.

Kasus yang mengakibatkan penetapan tiga orang tersangka tersebut, bermula dari beberapa oknum anggota Banser Garut yang melakukan pembakaran bendera hitam yang bertuliskan Kalimat Tauhid berwarna putih, yang mirip dengan bendera HTI. Pembakaran bendera tersebut terjadi pada saat perayaan Hari Santri Nasional (HSN) Ke-3, di Alun-Alun Blubur Limbangan, Kabupaten Garut. Minggu (21/10/2018).

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH. Melalui tulisannya yang diterima oleh redaksi. Menyatakan bahwa, “Kalimat Tauhid demikian mulia dan agung menurut agama Islam. Penghinaan terhadap kalimat Tauhid dalam berbagai bentuknya, menurut Pasal 156a huruf a KUHP tergolong tindak pidana penghinaan (penodaan) agama. Terhadap siapapun yang melakukan penghinaan tersebut harus ditindak, tanpa kecuali (equality before the law).”

Dr. Abdul Chair juga menjelaskan. Pada diri pelaku terdapat adanya kehendak yang tentu pula didalamnya sudah terkandung adanya niat. Kehendak itulah yang telah mendorong dirinya untuk mewujudkan perasaannya. Untuk menentukan adanya kehendak, tolok ukurnya adalah kesengajaan sebagai wujud penggunaan pikiran yang diarahkan untuk terjadinya tindak pidana. Rumusan Pasal 156a huruf a KUHP tidak mensyaratkan adanya akibat tertentu dari perbuatan pelaku (delik formil), maka teori kehendak dapat digunakan. Sebab, apakah pelaku mengetahui atau tidak akan adanya akibat tidaklah dipersoalkan. (AMN).

Loading...

Baca Juga