oleh

Prabowo Mau Makar? Sebuah Catatan Agus Wahid

Prabowo Mau Makar?
Catatan Tambahan Agus Wahid
(Jakarta, 27 Des 2018)

Pidato Prabowo pekan lalu — Kalau sy kalah dalam polres 2019, mk Indonesia punah — dinilai beragam.

Mayoritas menggarisbawahi, pidato di hadapan para kadernya di Sentul itu dalam upaya membakar semangat heroisme utk berjuang ekstra memenangkan pasangan Prabowo-Sandi. Namun demikian, kalangan kontrarian menilai lain. Pidato itu dinilai sbg sikap kesiapan utk bertindak brutal dan mengarah pd upaya makar. Inilah penilaian paradoks, di antaranya Nata S. Pane (Ketua Indonesia Police Watch).

Sah-sah sj penilaian Nata S. Pane. Masing2 punya sudut pandang. Namun demikian, penilaian itu perlu kita review lb jauh krn ada kekeliruan mendasar dlm pengembangan logikanya.

Ada bbrp hal yg perlu diluruskan. Pertama, jika Prabowo mmg mau makar, harusnya tindakan melawan hukum itu dilakukan saat dirinya kalah dalam pilpres 2014. Prabowo dan sebagian besar jajaran pendukungnya th persis terjadinya pencurangan sistematis dan terstruktur. Namun, Prabowo lb baik menempuh jalur hukum (ke MK), padahal arus bawah siap bergerak menuntut penyelesaian persoalan politiknya. Sekali lg, Prabowo menghindari upaya penyelesaian politik. Prabowo pun tdk menyarankan apalagi membiarkan reaksi kekecewaan massa pendukungnya. Singkat kata, pengalaman pilpres 2014 menunjukkan jatidiri Prabowo sbg pribadi yg anti makar. Gantle dan menghormati proses hkm walau MK kemasukan angin.

Kedua, Nata S. Pane gagal memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia yg selama ini (setidaknya sejak 2016) sdh terjadi kristalisasi anti rezim Jokowi. Landasannya, sang rezim menunjukkan keberpihakan politik sekaligus melindungi posisi hukum atas ulah Ahok yg jelas2 menista agama. Pembelaan politik dan hkm sang rezim thd Ahok menjadikan degradasi simpati thd Jokowi.

Reaksi negatif (anti Jokowi akibat perlindungannya thd Ahok) mendorong reaksi nasional, ditandai peristiwa 411 – 2016 yg intinya menuntut keadilan hkm. Gerakan penuntutan pro yustisia meningkat ke peristiwa yg lb besar. Peristiwa 212 itulah sesunghuhnya sebuah akumulasi sikap muslim anti Jokowi sebagai implikasi sang rezim melindungi sang penista Ahok.

Peristiwa sosial itu sesungguhnya merupakan reaksi atas ketidakadilan hkm yg diperlihatkan dg telanjang dalam melindungi Ahok.

Bagi muslimin-muslimat, tindakan rezim sungguh melukai perasaan umat yg menuntut keadilan bagi sang penista. Dan umat semakin kecewa krn tindakan selanjutnya justru terjadi kriminalisasi thd ulama dan aktivis pro umat. Juga, persoalan pembiaran aksi dan manuver kebangkitan komunis di negeri ini.

Sementara itu, barisan nasionalis menilai serentetan kegagalan tata kelola negara dalam kontek ekonomi mikro ataupun makro atau lainnya. Blm lg bicara persoalan korupsi yg senantiasa diskriminatif penanganannya (tebang pilih).

Perilaku kekuasaan Jokowi dan serangkaian kegagalan membuat posisi Jokowi sebagai the common enemy, di mata umat atau kaum nasionalis.

Proporsi Jokowi sbg the common enemy inilah yg tidak dibaca oleh Nata S. Pane. Dia gagal menilai anatomi sosial itu yg kini sedang dirasakan umat dan barisan nasionalis.

Perlu kita garis-bawahi, proporsi the common enemy inilah yg menggerakkan umat dan kalangan anak bgs nasionalis siap bergerak manakala Prabowo kalah dalam pilpres. Mereka bergerak krn tahu persis bhw kekalahan Prabowo tidak wajar, yakni terjadi pencurangan massif dan terstruktur spt yg terjadi pada pilpres 2014. Kecurigaan itu sdh terekam kental dan sudah menjadi keyakinan sejalan dg serangkaian bukti rencana pencurangan. Ditemukan data skitar 31 juta pemilih siluman, ditemukan data KTP ganda dan bukti satu Kartu Keluarga (KK) memiliki sekitar 400 org, semua itu mengkristalkan keyakinan ttg persiapan gerakan pencurangan itu.

Jd, para pihak siap bergerak jika Prabowo kalah sejatinya merupaksn reaksi umat dan barisan nasionalis. Dasar reaksinya bkn semata2 kecurangan, tp tingkat bahaya nasional — sebagai umat atau kepentingan nasional — yg memang terancam jika Jokowi masih bertahan dalam kekuasaan. Di hadapan mereka, bayangan yg langsung menghiasi pikiran adalah kian menguatnya komunisme di negeri ini. Hal ini membuat bayangan tentang eskalasi ketidaknyamanan umat dlm beragama. Juga, eskalasi perampokan kekayaan negara tanpa batas melalui penguasaan kaum aseng thd aset2 strategis indonesia. Akumulasi sikap ideologis (komunisme dan neo komunisme yg lbh berkonsentrasi kapital) — di mata umat dan barisan nasionalis — akan mengantarkan Indonesia mmg akan punah sbg NKRI. Jatidirinya akan berubah menjadi Indochina.

Itulah kekhawatiran yg mendalam. Dan itu pula yg membuat psikologi massa semakin kuat dlm menempatkan Jokowi sbg the common enemy. Inilah yg membuat mereka langsung bergerak saat Jokowi menang pilpres nanti.
Mmg, Prabowo kecewa akibat pencurangannya. Tapi, massa muslim dan kaum nasionalis lb melihat implikasi kekalahan Prabowo dlm perspektif kepentingan umat dan nasional.

Sebuah pertanyaan, apakah Prabowo akan memimpin aksi protes itu? Sbg manusia biasa, kemungkinan Prabowo akan ambil peran politik reaktif itu dan itu lbh merupakan memorial yg pernah dikadali proses hukum spt yg terjadi pada pilpres 2014 itu. Sifatnya manusiawi. Namun demikian, peran komando kekecewaan bkn hanya Prabowo. Anasir pemimpin umat dan kalangan nasionalis akan bahu-membahu dalam aksi tunggal: menurut supremasi hkm utk menganulir kemenangan pilpres scr curang itu.

Perlu kita garis-bawahi, heroisme perlawanan anti pencurangan justru lebih menguat dari umat dan barisan nasionalis. Inilah yg mengantarkan peta pemikiran bhw reaksi politik itu tak bisa dikategorikan makar, apalagi dialamatkan kpd Prabowo ansih.

Yg perlu digarisbawahi, umat dan barisan nasionalis hanya menuntut tegaknya posisi hkm pemilu itu, bkn merebut kekuasaan. Gerakan itu jg tak bersenjata, jg tidak melibatkan aparat keamanan scr definitif. Dari proses politik itulah kita menjadi tertawa ketika terjadi penggiringan opini ttg makar spt yg disampaikan Nata S. Pane.

Mmg, Prabowo yg akan menjadi subyek pengganti jika kemenangan Jokowi dianulir. Namun, pengambilalihan posisi kepresidenan itu tuntutan massa nasional, bkn Prabowo. Pengambilalihan itu lbh merupakan mosi tak percaya, meski prosesnya ekstra parlementer. Premis inilah yg — scr teoritik — menggugurkan penilaian simplistis bhw Prabowo mau makar. Dan gerakan mutualistik (massa dan Prabowo) tidak otomatis akan mempasalkan posisi hkm Prabowo dalam kaitan makar. Justru yg hrs diseret sbg aktor makar — minimal tindak kejahatan serius –adalah KPU dan seluruh organ penyelenggara yg membiarkan bahkan terlibat dalam pencurangan sistematis dan terstruktur. Landasannya, sikap dan tindakan penyelenggara pemilu menjadi faktor destabilitas nasional, bahkan konflik horizontal, meski kini masih sbg potensi. Inilah sketsa politik dan hkm yg perlu kita catat bersama. Smg bayang2 pahit itu tdk terjadi, shg Indonesia ttp selamat. Jika kita semua mengidamkan Indonesia selamat, maka jangan coba2 curang. Inilah kata kunci yg sgt mendasar.

Loading...

Baca Juga