Rakyat Korban Perbudakan, Dimana Pembelaan Negara? Oleh: Sri Maulia Ningsih, S. Pd, Pemerhati Sosial Politik.
Sebuah video yang menampilkan pelarungan jenazah ABK WNI ke laut viral di media sosial. Terlebih, salah satu media televisi Korea Selatan turut mengangkat peristiwa pelarungan ini. Stasiun televisi Korea Selatan, MBC menyajikan laporan eksklusif mengenai adanya sejumlah warga Indonesia yang menjadi pelaut, diduga mengalami praktik eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia saat bekerja di sebuah kapal ikan China. Laporan tersebut diketahui berasal dari laporan sejumlah anak buah kapal (ABK) Warga negara Indonesia yang bekerja di kapal tersebut.
Dalam berita tersebut diketahui sejumlah ABK warga negara Indonesia melapor bahwa mereka diperlakukan dengan buruk di kapal ikan tersebut. Yakni bekerja hingga 18 sampai 30 jam, dengan istirahat yang minim bahkan seorang rekan mereka yang meninggal karena sakit, saat kapal tengah berlayar. Jasadnya pun dibuang begitu saja di tengah laut dengan upacara seadanya.
Padahal dalam surat pernyataan yang diteken, kapal harus merapat ke pelabuhan untuk menyerahkan jasad awak mereka yang meninggal dalam kondisi utuh atau dikremasi. Sontak saja pemberitaan yang viral tersebut membuat prihatin sekaligus geram publik tanah air.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), Achdianto Ilyas Pangestu mengatakan prihatin dan mengutuk keras peristiwa tersebut. Ilyas bersama SPPI yang selama ini aktif memberikan advokasi dan perlindungan hukum bagi Pekerja Perikanan di Korea Selatan itupun mendorong pemenuhan hak korban.
Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha membenarkan adanya peristiwa pelarungan ini. Kemenlu akan memanggil Dubes China untuk mengklarifikasi berita tersebut. “Guna meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pelarungan jenazah dan perlakuan yang diterima ABK WNI lainnya, Kemenlu akan memanggil Duta Besar RRT (Republik Rakyat Tiongkok),”
Selain itu Judha menyebut terdapat 4 jenazah WNI dilarungkan ke laut karena kematiannya disebabkan oleh penyakit menular. Kematian 4 ABK itu, sebut Judha, terjadi pada bulan Desember 2019 dan Maret 2020. “Pada kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604, terjadi kematian 4 awak kapal WNI saat kapal sedang berlayar di Samudera Pasifik. Kapten kapal menjelaskan bahwa keputusan melarung jenazah karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya,” ujar Judha dalam keterangannya, (detik.com, 7/5/2020).
Berbeda dengan Anggota Komisi I DPR RI Sukamta bahwa dia menilai kejadian meninggal dan dilarungnya empat anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal berbendera China dan adanya 14 ABK yang meminta bantuan hukum saat kapal berlabuh di Busan, Korea Selatan, sudah mengarah kepada perbudakan modern atau modern slavery.
Dia melihat ada indikasi perlakuan pihak perusahaan kapal yang sudah mengarah kepada pelanggaran HAM berupa tindak perbudakan atau ekspolitasi secara berlebihan yang menyebabkan kematian.
“Saya lihat yang menimpa saudara kita para TKI yang menjadi ABK di kapal Long Xing 605, Long Xing 606 dan Long Xing 629 sudah mengarah kepada modern slavery. Dari enam elemen perbudakan modern, kasus yang menimpa para ABK ini terindikasi mempunyai tiga elemen diantaranya seperti buruh kontrak, pekerja paksa dan perdagangan manusia,” ujar Sukamta, dalam keterangannya, ( detik.com, 9/5/2020).
Namun nampaknya dalam kasus ini pemerintah dalam hal ini Kemenlu sendiri menampik hal tersebut, sebab menurutnya pelarungan anak buah kapal (ABK) yang berasal dari Indonesia tersebut sudah mendapat persetujuan dari pihak keluarga sebelum pelarungan.
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Marsudi menyampaikan perusahaan kapal memberi tahu pihak keluarga dan telah mendapat surat persetujuan pelarungan di laut tertanggal 30 Maret 2020. Dikonfirmasi perihal ini, Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah mengatakan, pernyataan Menlu berdasarkan informasi dari pihak agen kapal. “Yang disampaikan Ibu Menlu adalah pelarungan menurut pihak kapal sudah memenuhi kondisi bagi pelarungan yang dibenarkan ILO (Organisasi Buruh Internasional),” jelasnya, (detik.com 8/5/2020).
Lain halnya dengan pernyataan pihak keluarga ABK pasalnya mereka sama sekali tidak mengetahui adanya pelarungan tersebut. Keluarga dua orang ABK asal Sumatera Selatan yang meninggal di atas kapal ikan berbendera China dan jenazahnya dilarung ke laut mengaku kaget karena tidak dilakukan pemakaman secara hukum Islam (Merdeka.com, 08/05/2020)
Tumpang tindih pernyataan pihak pemerintah dan keluarga ABK membuat publik bertanya-tanya sebab pemerintah terkesan minim pembelaan terhadap warga negaranya sendiri, bahkan terhadap hak-hak warga negaranya sendiri yang disinyalir terjadi perbudakan modern. Betapa tidak kasus pelarungan ABK tersebut menuai kecaman di skala internasional, namun dari pihak pemerintah Indonesia sendiri nampaknya tidak memperlihatkan tanda-tanda keberpihakkannya terhadap warga negaranya yang menjadi korban pelarungan. Meskipun banyak pihak yg mengecam justru datang dari negara lain. Tetapi justru pemerintah mengklaim bahwa hal tersebut sudah sesuai prosedur dan terkesan membela asing.
Kasus pelarungan ABK ini adalah bukti bahwa tak terjaminnya hak-hak warga negara Indonesia, sekaligus fakta perbudakan moderen yang minim jaminan hak-hak rakyat. Meski berbagai pihak mengecam, ini salah satu contoh dari sekian banyaknya kasus-kasus TKI yang bekerja pada Asing yang syarat akan pengabaian hak-hak mereka.
Tetapi jika Asing dalam hal ini TKA yang masuk ke negeri ini justru malah bebas melenggang, ditengah gelombang TKA masuk ke negeri ini saat yang sama pula TKI di negeri asing justru tidak mendapatkan hak-haknya secara tidak layak. Sungguh miris apa yang sedang dipertontonkan penguasa hari ini semakin menguatkan dugaan rakyat bahwa pemerintah berat sebelah atas kondisi rakyat sendiri dan sangat beda perlakuan jika itu terjadi pada WNA.
Adalah hal yang wajar ketika sistem hidup yang dibangun atas dasar manfaat belaka, yakni kapitalisme yang menjadi dasar pengambil kebijakan negeri ini akan semakin memperburuk keadaan rakyat menengah ke bawah pun pemenuhan hak-haknya.
Sangat berbeda dengan yang terjadi didalam Islam, Islam menjamin hak-hak warga negaranya bahkan nyawa seorang pun sebanding dengan dunia dan seisinya. Sebagaimana hadits rasulullah saw : dari al-Barra ‘bin Azib radhiyallahu’ anhu , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan untuk Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Jadi, bagaimana mungkin hak-hak rakyat tak akan terpenuhi jika nyawa saja lebih berharga dari pada hilangnya dunia. Masya allah tidak kah kita berfikir untuk mengambil sistem islam dan menerapkannya dalam kehidupan. Allahua’lam bishawab