oleh

Menggali Skenario Dibalik Isu Tujuh Kontainer

Menggali Skenario Dibalik Isu Tujuh Kontainer, Catatan kecil pojok warung kopi ndéso. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.

Baru-baru ini sedang ramai masalah isu 7 (tujuh) kontainer berisi surat suara. Publik pun gaduh. Andi Arief (AA) yang men-tweet kali pertama segera menghapus cuitan. Masuk ituh barang. Pihak yang berwenang (Bawaslu dan KPU) pun turun ke TKP. Clear! Lalu disampaikan, bahwa tujuh kontainer itu bukanlah surat suara.

Konon itu hoax. Lha, kertas suaranya saja belum dicetak kok, kata mereka. Persoalan pun dianggap selesai. Publik mantuk-mantuk, “Ohh, dasar hoaxer!” AA pun menuai bullyan berkepanjangan.

Pertanyaannya; apakah guliran isu usai sampai disitu saja? Saya pikir tidak. Berbagai analisa pun bermunculan. Maklum, ini masih tahun politik. Hal sekecil apa pun bisa jadi bahan kegaduhan, termasuk sholat dan keimanan yang merupakan ranah Tuhan pun digoreng-goreng oleh elit politik apalagi para netizen, kelompok hore dan pemandu sorak. Mereka berani dan tidak takut kualat lho masuk ke area Tuhan.

Kembali ke judul. Bahwa didalam politik, memang ada isu yang dilempar ke publik tetapi hanya sebagai modus dan ada pula isu sebagai pola. Dalam isu sebagai pola, contohnya kasus Irak zaman Saddam Husein berkuasa. Isu (bohong) senjata pemusnah massal yang ditebar ternyata cuma prolog belaka, karena agenda atau tema lanjutannya setelah isu dipercaya oleh publik global adalah keroyokan militer ala NATO pimpinan Paman Sam.

Irak pun luluh lantak, diberondong peluru negara-negara yang tergabung dalam NATO, Saddam lalu digantung. Dan ujungnya, terjadi peng-kavlingan sumur minyak di Irak oleh negara-negara yang terlibat dalam invasi militer mengeroyok Irak. Jadi, dalam narasi isu sebagai pola, bahwa setiap penyebaran isu akan ditindak-lanjuti dengan agenda berikutnya, dan seterusnya, yang intinya adalah ada udang di balik rempeyek.

Nah, kini soal isu sebagai modus. AA mungkin cuma test the water. Melempar batu (isu) di kolam (publik) hanya untuk melihat riak airnya (reaksi publik). Tidak lebih. Tapi dia membungkusnya dengan pertanyaan, meski kemudian yang berkembang di otak pendukung petahana AA menyebar hoax. Twit minta dicek kebenaran, lalu dituduh hoax.

Tetapi jika dicermati, isu tujuh kontainer yang kini viral itu termasuk kategori isu sebagai modus. Hanya mencermati reaksi, meneliti respon dan melihat ketanggap-segeraan publik atas isu yang muncul di atas permukaan. Namun jika lebih dalam menyelami, ketika isu tujuh kontainer diibaratkan sebuah puzzle, lalu disatukan dengan puzzle lain seperti isu 31 juta DPT rahasia, misalnya, atau isu 14 juta DPT orang gila, ataupun isu soal kotak kardus, e-KTP tercecer, dan seterusnya, jika dirangkai kemudian diplot pada pagelaran Pilpres mendatang, maka akan ditemukan hipotesa berdiksi: “KECURANGAN PEMILU”.

Gambaran skenarionya, apabila kelak benar-benar tiba tujuh kotak kontainer yang memang berisi surat suara di pelabuhan, publik sudah tidak percaya lagi. Publik akan cenderung apatis, dan kurang merespon isu yang dimaksud.

Jadi ingat semasa ngaji filsafat, kata guru saya, “Nduk, hari Rabu tandanya raja-nya hari. Maknanya apa? Bahwa isu dan bahasannya benar adanya. Makanya banyak rapat-rapat penting untuk memutuskan sebuah kebijakan, diadakan pada hari Rabu”.

Bukankah isu yang dilempar oleh AA adalah hari Rabu?

Loading...

Baca Juga