oleh

Sengketa Tanah UM Sorong Berakhir Sumpah Adat Suku Moi dan Berujung Maut

FOKUSBERITA.ID – Ketua Perhimpunan Marga Kalami Klaglas Klakalus, Herkanus D Kalami menyebut meninggalnya Kavlin Kwatolo diyakini akibat sumpah adat suku Moi yang digelar di kampus Universitas Muhammadiyah (UM) Sorong. Sumpah adat tersebut dilakukan karena terjadi klaim akan kepemilikan hak adat tanah ulayat suku Moi antara marga Kalami dengan marga Ulim dan Kwatolo seluas 1.067 hektar yang terletak di wilayah kota dan kabupaten Sorong (Sorong Raya) Papua Barat.

Menurut Herkanus, masalah sengketa antara marga Kalami dengan marga Ulim dan Kwatolo sudah terjadi selama 32 tahun. Selama ini, marga Ulim dan Kwatolo disebut telah memalsukan dokumen melalui tandatangan palsu atau rekayasa sistem adat.

Ia menyebut, sengketa itu berkenaan dengan tanah adat hak ulayat seluas 1.067 hektar yang terletak di wilayah Sorong Raya. Di dalamnya, terdapat pula tanah kampus UM Sorong seluas 17 ribu meter persegi.

“Tetapi dengan sumpah adat kemarin (Jumat 22 Mei 2020-red), bertepatan dengan pemalangan kampus. Saya membuktikan, apa marga Kalami yang punya atau marga Ulim Kwatolo yang punya,” kata Herkanus melalui sambungan selular, Selasa (26/5/2020) malam.

Ia mengakui, sumpah adat suku Moi tersebut dipicu oleh pernyataan rektor UM Sorong periode 2020-2024 Muhammad Ali beberapa waktu lalu. Menurut Herkanus, dalam pernyataannya, Muhammad Ali menyebut peristiwa pemalangan yang terjadi di gerbang kampus UM Sorong dianggapnya selesai karena ada dua marga yang mengaku punya tanah adat tempat kampus UM Sorong berdiri.

“Justru itu kami buktikan, dua marga mana yang punya tanah. Kalau memang marga Ulim Kwatolo, ya kita buktikan dengan sumpah adat suku Moi di dalam kampus UM Sorong. Makanya pada hari Jumat tanggal 22 Mei 2020 kami lakukan sumpah adat jam 10 tepat (WIT-red). Dan dua marga itu tidak hadir. Dan termasuk pak Ali juga tidak hadir di kampus untuk melakukan sumpah adat,” tuturnya.

Lanjutnya, pada sumpah adat suku Moi tersebut, dihadiri dan disaksikan oleh Kapolres Sorong Kota, Dandim, Perwakilan Pemerintah Kota Sorong, Ketua DPRD Kabupaten Sorong, Badan Pertanahan Nasional Kota Sorong. Hadir pula masyarakat adat marga Kalami, Perwakilan Wilayah Muhammadiyah Papua Barat, Para Dosen UMS, dan Mahasiswa UMS yang diwakili oleh Presma UMS dan jajaran kepengurusannya.

Ia menambahkan, pada acara tersebut, Muhammad Ali tidak hadir dengan alasan sudah pihak UM Sorong yang mewakili. Adapun Kalvin Kuatolo, Obet Kuatolo, Isak Kuatolo, Lambertus B Ulin yang disebut mengklaim pemilik tanah adat tenpat kampus UM Sorong berdiri, juga tidak datang.

“Dan Kapolres memerintahkan untuk jemput paksa dengan tua-tua adat dan anggota kepolisian. Ternyata sampai di rumah mereka sudah lari tinggalin rumah. Setelah itu tua-tua adat kembali ke kampus untuk melakukan sumpah adat, walaupun mereka tidak hadir. Pak Ali tidak hadir, tetapi sumpah adat dilakukan,” tegasnya.

Herkanus menegaskan, sumpah adat merupakan ritual sakral suku Moi dalam menyelesesaikan sengketa kepemilikan tanah adat. Sumpah adat suku Moi dipercaya akan berujung maut bagi mereka yang bersalah.

“Sumpah adat itu ada perjanjian, 3 hari atau lima hari, atau satu minggu, ada yang korban. Ternyata sumpah adat terjadi hari Jumat, hari Senin pagi ada yang korban, yaitu dari marga Kwatolo. Yaitu Kalvin A Kwatolo. Sumpah adat ini harus terbukti. Makanya kami buktikan dengan sumpah adat kira-kira marga mana yang punya. Ternyata sumpah adat itu terbukti bahwa marga Kalami yang punya. Bukan marga Ulim Kwatolo,” ujar Herkanus.
Sengketa Tanah UM Sorong Berakhir Sumpah Adat Suku Moi dan Berujung Maut
Beberapa pejabat pemerintah setempat yang menghadiri sumpah adat suku Moi di Universitas Muhammadiyah Sorong, Jumat (21/5/2020)

Lanjutnya, Kalvin Kwatolo meninggal pada hari Senin 25 Mei 2020, 3 hari setelah dilakukan sumpah adat suku Moi. Menurut keterangan Herkanus, Kalvin Kwatolo meninggal karena sakit. Meskipun ia tidak menjelaskan secara medis penyebab meninggalnya Kalvin Kwatolo, namun ia meyakini, meninggalnya Kalvin Kwatolo adalah akibat dari sumpah adat suku Moi.

“Hari Kamis kami edarkan untuk dilakukan sumpah adat pada hari Jumat. Begitu Kalvin A Kuatolo menerima undangan, langsung drop dan langsung dibawa ke rumah sakit. Dalam undangan itu ada 2 marga, Kalvin Kuatolo, Obet Kuatolo, Isak Kuatolo, Lambertus B Ulin. Yang bukan punya, pasti ada korban yaitu meninggal. Didalam sumpah adat itu, kalau ada yang korban, berarti bukan yang punya. Itu sudah jelas,” tegasnya.

Menurut Herkanus, ada indikasi pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan situasi sengketa tanah adat hak ulayat yang sudah terjadi selama 32 tahun tersebut. Ia pun menyebut pihak yang dimaksud adalah Rektor UM Sorong, Muhammad Ali. Ia menduga, Muhammad Ali memanfaatkan kedua marga tersebut untuk membuka palang adat suku Moi yang dilakukan di gerbang kampus UM Sorong.

“Karena pak Ali sempat panggil mereka ke rumah untuk membuka palang, tapi mereka tidak berani membuka palang. Pak Ali juga buka statemen bahwa kampus UM Sorong tidak usah ganti rugi, karena ada 2 marga juga yang mengaku punya,” imbuhnya.

Untuk mencegah agar hal ini tidak terjadi lagi, Herkanus mengaku pihaknya akan melakukan penyisiran dan pendataan terhadap setiap bagunan, yang berada di atas tanah adat milik marga Kalami. khusus untuk kampus UMS akan dilakukan pemalangan adat kembali, hingga membayar ganti rugi adat.

“Saya menuntut, karena tanah adat diakui oleh negara, dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu saya dan keluarga memohon, pada siapapun yang berdomisili di atas tanah Moi. Jangan adu domba kami suku Moi, di atas tanah sendiri. Selama ini sudah banyak yang kami suku Moi berikan pada masyarakat kota dan kabupaten Sorong,” tutup Herkanus Kalami. (OSY)

Loading...

Baca Juga