Wahai Bima Arya, Pak Jokowi Bilang Merangkul Bukan Memukul.
Ditulis oleh: Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Belum hilang dari ingatan publik agar dakwah jangan memukul, tapi merangkul, sebagaimana petuah Presiden Jokowi kepada Alim Ulama yang sedang melakukan Munas. Kini praktik ‘memukul’ itu justru dilakukan oleh Pemimpin, bukan pendakwah.
Dikabarkan, Walikota Bogor Bima Arya melalui Satgas COVID-19 Kota Bogor melaporkan manajemen RS Ummi ke polisi, hanya karena soal penanganan swab terhadap HRS. Laporan terkait dugaan upaya menghalangi atau menghambat penanganan atau penanggulangan wabah penyakit menular COVID-19 terlalu dibesar-besarkan.
Faktor utama adalah HRS, sementara yang lain hanya soal dalih hukum yang bisa disesuaikan kebutuhan. Politik isolasi dan intimidasi, dilanjutkan pada kriminalisasi terhadap HRS nampak sedang dan terus dilakukan, dengan menggunakan seluruh sarana dan organ kekuasaan yang ada. Bahkan menggunakan organ kekuasaan di daerah.
Entah ini buntut ancaman Mendagri melalui instruksinya, atau Bima Arya juga punya ‘tabungan kasus’, yang jelas pandemi sedang seksi dijadikan sarana kriminalisasi sejak kepulangan HRS. Padahal, dahulu sebelum HRS pulang, pemerintah bahkan sempat launching New Normal.
Yang jelas, kasus ini terjadi pasca instruksi Mendagri yang meminta kepala daerah menegakkan protokol kesehatan dan mengancam akan memecat jika mengabaikan. Jadi sebenarnya, laporan polisi oleh Walikota Bogor ini karena menegakkan protokol kesehatan, atau karena ancaman Mendagri?
Wahai Arya Bima, yang pernah menjadi orang biasa dan kritis terhadap penguasa. Ingat pesan pak Presiden, gunakan pendekatan merangkul jangan memukul. Itu pesan Tuan Presiden saat memberikan petuah kepada para ulama.
Dokter dan rumah sakit itu berada di garda terdepan melawan Covid-19. Kalau ada yang tidak pas, bisa dipanggil, musyawarah, beri arahan, bukan kemarahan. Beri petunjuk jangan cuma asal nunjuk-nunjuk. Beri pencerahan, jangan malah bikin perpecahan.
Memang benar, laporan itu bisa dicabut, dan bisa juga tak ditindaklanjuti. Namun kepemimpinan model seperti ini, justru menghilangkan empati. Padahal, bangsa ini butuh saling empati untuk menghadapi pandemi.
Jangan jadi latah, lopar-lapor polisi. Aparat sedang banyak tugas, menangkap Harun Masiku saja sampai hari ini belum berhasil. jangan tambah kerjaan aparat.
Ajaklah direktur UMMI ngopi bareng, diskusi cair, bicara dari hati ke hati. Jangan mengedepankan arogansi dalam memimpin, cukup presiden saja yang arogan, walikota ga usah ikut latah arogan.
Ketahuilah! Memimpin itu melayani, bukan mengancam dan menakut-nakuti. Memimpin itu mengunggah empati, bukan emosi. Memimpin itu hendaknya menjadi teladan, bukan menjadi ancaman.