Di tengah Wabah, Negara Semakin Tercekik Hutang? Oleh: Nirmala, Aktivis Mahasiswa.
Berdasarkan Perppu Corona No. 1 tahun 2020, pemerintah akan melebarkan defisit anggaran APBN untuk menanggulangi dampak Pandemi COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional.
Dalam UU No.2/2020 disebutkan pandemi Covid-19 secara nyata telah menganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan dapat turun hingga mencapai 4% atau lebih rendah, tergantung seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Covid-19 memengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2020, baik pendapatan negara, belanja negara, maupun sisi pembiayaan. Respons kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi Covid-19.
Lihat : (https://news.ddtc.co.id/resmi-perpu-1-2020-ditetapkan-jadi-undang-undang-20992 )
Dalam outlook terbaru, pendapatan negara diprediksi hanya Rp1.691,6 triliun. Sementara belanja negara melonjak menjadi Rp2.720,1 triliun. Akibatnya, kebutuhan pembiayaan netto naik menjadi Rp1.206,9 triliun, untuk menutup defisit dan pembiayaan investasi.
Dampaknya, total utang pemerintah pada 2020 berpotensi menembus Rp6.000 triliun (katadata, 1/6/2020). Hal ini menambah beban pembayaran bunga utang di tahun ini menjadi Rp338,8 triliun.
Maka menurut Pemerintah, tentu membutuhkan banyak dana demi menanggulangi dampak Pandemi Corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional. Untuk memenuhi dana tersebut, salah satunya pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran yang melebar ke 6,27% itu setara Rp 1.028,5 triliun terhadap PDB. Untuk memenuhi itu, pemerintah rencananya akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun. Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional yang dikutip dari detikcom, pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020 (detik.com).
Setelah pengesahan Perppu Corona, pemerintah memiliki wewenang lebih besar (tanpa perlu restu DPR) untuk mencari ‘jalan keluar’ atas problem defisit anggaran (APBN). Dan bisa diduga bahwa jalan yang ditempuh adalah dengan utang asing baru maupun penerbitan surat utang Negara. Keduanya memiliki dampak buruk dan bahaya bagi fundamental ekonomi maupun kemandirian bangsa.
Tambal Sulam Perekonoman Kapitalisme
Defisit APBN yang sudah lama dialami negara di tambah dengan kondisi Pandemi ini mengakibatkan masalah semakin melebar. Sehingga inisiatif utang pun semakin kencang. Sesungguhnya hal ini semakin memperburuk perekonomian Indonesia, pasalnya negara bukan hanya membayar hutang itu sendiri melainkan disertai bunga yang terus membengkak. Alhasil perekonomian negara tidak akan mencapai posisi stabil melainkan akan terus dikendalikan oleh pihak asing. maka berutang untuk menanggulangi pandemi hanyalah tambal sulam yang menyelesaikan satu masalah namun menimbulkan masalah baru. Nampak jelas buruknya sistem kapitalisme.
Dalam kapitalisme, utang adalah instrumen penting untuk menambal defisit anggaran. Inilah karakteristik rusak dari sistem Kapitalisme. Untuk mengatasi defisit anggaran, cara Kapitalisme adalah meningkatkan pajak, berutang dan kadang dengan mencetak mata uang. Masing-masing pilihan tersebut berisiko besar terhadap APBN.
Sistem kapitalisme memang rentan mengalami guncangan ekonomi hal ini disebabkan karena sumber pemasukan utama negara adalah pajak dan utang. Ditengah pandemi ini tentu negara akan kesulitan memperoleh pajak dari rakyatnya yang juga tengah mengalami kemandegan ekonomi.
Sehingga ketika negara tak mampu memungut pajak dari rakyat maka utang adalah pelariannya. Padahal, dengan semakin meningkatnya nilai utang negara, tentu sangat berbahaya bagi kedaulatan negara. Pasalnya negara pasti akan mengalami control dan intervensi oleh para kapital akibat dari konpensasi utang tersebut. Bahkan akan mudah didikte kebijakannya sesuai dengan kepentingan para Kapital.
Sistem Kapitalis Sekuler ini sudah sangat menyulitkan dan menyengsarakan rakyat juga negara yang selalu menjadi korban pemalakan oleh para kapital. Akibatnya juga negara semakin tercekik lilitan utang yang kian membumbung tinggi.
Berbeda halnya dengan sistem Kapitalisme yang buruk dalam menangani perekonomian negara. Sistem Islam memiliki mekanisme khusus terkait dengan perekonomian. sistem Islam juga menata sistem fiskal. Yakni tidak bertumpu pada pajak yang berakibat turunnya daya beli masyarakat. Melainkan menata sistem keuangan negara dengan baitul mal. Serta meninggalkan APBN Sekuler yang hanya menjadi alat negara besar untuk menjarah sumber daya alam negeri-negeri kaum muslimin.
Dalam negara Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang jelas dan rinci: Pos Kepemilikan Negara (Fa’I dan Kharaj), Pos Kepemilikan Umum, dan Pos Zakat. Saat Wabah terjadi, Dana dari Fai’ (rampasan perang) dan kharaj (pungutan atas tanah kharajiah) dapat digunakan untuk pembiayaan. Jika tidak cukup, Maka Dana untuk Bencana juga dapat diambil dari Pos Kepemilikan Umum, dari keuntungan pengelolaan barang tambang, migas dan mineral yang dikelola negara.
Dengan mekanisme yang sedemikian lengkap maka mampu menyelasaikan permasalahan dengan tuntas bukan menimbulkan masalah baru. Hal itu disebabkan Islam dan syariatnya berasal langsung dari sang pencipta yakni Allah SWT. sehingga seluruh aturan-aturan yang diturunkan merupakan solusi bagi permasalahan umat manusia. Maka hanya dengan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan di lini kehidupan akan memecahkan segala problem yang terjadi pada dunia hari ini, sehingga akan menghantarkan pada kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera karena rahmat dan karunia Allah SWT kepada seluruh alam.