oleh

Adaptasi Baru Ketenagakerjaan di Era New Normal, Opini Abdur Rahman Irsyadi

Adaptasi Baru Ketenagakerjaan di Era New Normal

Oleh: Abdur Rahman Irsyadi (Deputi Direktur Human Capital BPJS Ketenagakerjaan)

TUNA (Turbulence, Uncertainty, Novelty, Ambiguity) istilah yang dapat medeskripsikan situasi lingkungan bisnis saat ini.  Istilah yang diusung oleh Ramirez dan Wilkinson dari Oxford University sebagai acuan dalam penyusunan strategi bisnis yang dikenal dengan Oxford Scenario Planning Approach (OSPA).

Kondisi yang tidak terduga dan tidak diharapkan oleh siapapun berdampak secara global pada sendi-sendi organisasi khususnya dalam pengelolaan human capital.  Adanya peralihan implementasi human capital pada organisasi dari bekerja secara langsung di kantor (work from Office – WFO) dan sebagian karyawan harus membiasakan diri menggunakan platform teknologi informasi untuk melaksanakan aktvitas bekerja rutin melalui rumah (work from home – WFH).

Dalam perspektif ketenagakerjaan dan human capital, kondisi TUNA membutuhkan pendekatan baru untuk menyusun rencana dan kebijakan baru yang mampu menyeimbangkan peluang dan kolaborasi.  Ketidakpastian (uncertainty) dan kebaruan (novelty) yang sedang terjadi selama ini menjadi salah satu faktor yang mampu memberikan perubahan secara radikal pada lingkungan bisnis.

Ketikda ketidakpastian (uncertainty) dan kebaruan (novelty) hadir, reaksi awal yang muncul adalah bentuk kekhawatiran akan keberlangsungan organisasi, khususnya keberlanjutan bisnis dan tanggung jawab atas karyawan dalam organisasi.

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai kota besar di Indonesia memberikan dampak pada operasional organisasi.  Beberapa pelaku bisnis yang dapat bertahan pada situasi ini memberlakukan pola kerja bagi karyawannya dengan WFH dan WFO untuk menjaga keberlangsungan organisasi.

Tindakan ini dilakukan guna memberikan perlindungan bagi para karyawan dan memutus mata rantai penyebaran covid 19.  Karyawan menjadi salah satu asset yang berharga bagi organisasi dalam kondisi apapun.  Penerapan kebijakan ini bukan merupakan hal yang mudah bagi organisasi maupun karyawan.

Berbagai kendala dan tantangan pun dihadapi oleh karyawan dalam menerapakan kebijakan ini mulai bermunculan.  Mulai dari adanya gangguan dari anggota keluarga, jaringan komunikasi yang kurang handal, merasa sendiri yang berdampak pada kesehatan mental, rasa bosan sehingga berpengaruh terhadap semangat dan motivasi kerja.

Bukan hanya dampak negatif yang ditimbulkan, kebijakan ini juga memberikan peluang bagi karyawan dan organsiasi memikirkan kembali asumsi tentang produk, layanan dan model bisnis organisasi serta cross training bagi karyawan agar memiliki kesiapan yang lebih guna menghadapi periode krisis berikutnya. Walaupun dampak Covid 19  belum dapat diprediksi secara tepat dan akurat kapan akan berakhir.  Namun dibutuhkan kesiapan dari para pemimpin human capital untuk menghadapi kondisi new normal pasca periode krisis ini.

Kata new normal menjadi bahan perbincangan yang hangat di beberapa kalangan, khususnya para pemimpin yang masih bertahan dalam derasnya arus ketidakpastian (uncertainty) maupun yang akan memulai kembali usahanya pasca swich off dalam roda bisnisnya.

Jika kita mengetik kata “new normal di Indonesia” pada mesin pencarian online sekitar 1,090 miliar hasil dengan beragam konten dan konteks yang diangkat.  Munculnya trend dan pola kebiasaan baru karyawan sebagai dampak atas penggunaan teknologi informasi selama melaksanakan tugas kantor di rumah membangun satu kompetensi baru bagi karyawan.

Guna mengelola human capital yang optimal di masa saat ini dibutuhkan beberapa pendekatan metodologi. Metodologi yang melekat disetiap kapasistas manusia sebagai human capital untuk membayangkan masa depan guna memahami situasi saat kini dan mengidentifikasi kemungkinan strategi baru yang lebih baik di masa depan. Metode ini memungkinkan kombinasi pertukaran pengetahuan (tacit menjadi explicit) dan menghasilkan pengetahuan baru.

Keduanya mengarahkan perhatian pada kapasistas human capital untuk secara konsisten memeriksa pengaturan yang lebih luas (lingkungan kontekstual) dengan lingkungan bisnis yang lebih cepat (lingkungan transaksional) dan keberadaan human capital itu sendiri Perlunya keseimbangan tindakan strategis kompetitif dan kolaboratif untuk bertahan dan berkembang dalam kondisi TUNA.

Berdasarkan trend dan pola yang dibentuk oleh lingkungan bisnis, pendekatan metodologi baru yang dapat dilakukan oleh pemimpin di bidang human capital sebagai berikut. Pertama, menyelaraskan (Align) atribut tujuan (purpose), potensi dan perspektif karyawan.

Fokus kegiatan yang harus dilakukan oleh pemimpin di bidang human capital antara lain; pemimpin yang merangkul tujuan (purpose), menanamkan well being dan makna dalam setiap aspek pekerjaan karyawan setiap hari, mengoptimalkan kekuatan karyawan dengan memanfaatkan kekuatan tersebut agar dapat saling melengkapi dalam mencapai tujuan bersama.

Pemimpin yang merangkul semua potensi,  yang dirancang dan diorganisir secara maksimal dapat meningkatkan potensi karyawan dalam mencapai kesuksesan jangka panjang. Hal ini sering dilakukan di dunia Artificial Intelegent (AI).

Pemimpin human capital memandang TUNA sebagai bentuk penawaran kemungkinan daripada ancaman, memposisikan diri untuk mengambil tindakan tegas guna membentuk masa depan yang tidak diketahui.

 Kedua: Memikirkan kembali (Rethinking) konsep kerja baru, tenaga kerja dan tempat kerja.  Pada fase awal krisis, yang diberikan organisasi, mulai meninjau teknologi digital, otomatisasi, dan AI yang dapat menghasilkan pekerjaan lebih aman, lebih cepat, lebih baik, dan lebih inovatif. Dalam kondisi ini pemimpin di bidang human capital memikirkan kembali atas strategi ketenagakerjaan, komposisi, dan kompensasi dan manajemen kinerja.

Ketiga: berinvestasi pada karyawan (Investing your people).  Peningkatan kompetensi karyawan merupakan salah satu kekuatan organisasi untuk menjaga dan menyelamatkan keberlangsungan bisnis dalam jangka panjang. Reskilling  dan upskilling karyawan dapat dijadikan sebagai fokus bagi pemimpin di human capital. Reskilling adalah kegiatan yang seseorang mempelajari sebuah skills baru untuk mengambil pekerjaan baru yang jauh berbeda dengan posisinya sekarang.

Sedangkan upskilling merupakan sebuah kegiatan dimana seseorang mempelajari skills baru dengan tujuan untuk mempertahankan posisinya sekarang dan beradaptasi dengan situasi saat ini.  Kedua metode pengembangan yang disesuaikan yang lebih mengedepankan penguatan teknologi informasi. Virtual class, distance learning, social collaboration learning memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berinteraksi satu dengan yang lain dalam menghasilkan gagasan dan ide yang konstruktif guna menghadapi permasalahan di unit kerja maupun organisasi.

Banyak organisasi yang mungkin tergoda untuk tidak melakukan positioning, mengabaikan kebutuhan perubahan atau membayangkan pemulihan sebagai kembali ke masa lalu. Organisasi yang kembali ke cara kerja lama, dipastikan akan menemukan pesaingnya yang telah menjadi new normal yang telah mengambil keuntungan atas situasi tersebut. Siapa yang cepat berdaptasi di era New Normal dialah pemenangnya.

Loading...

Baca Juga