Catatan Hitam Ketidakadilan Hukum dan Melemahnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Oleh: Syifa Nailah Muazarah, S.Si., Aktivis LKMC dan Alumni Astronomi ITB.
Pemberantasan korupsi di Indonesia kembali tercederai oleh aparat penegak hukum. Masyarakat makin hari makin pesimis dengan keberpihakan pemerintah terhadap keadilan dan kebersihan lembaga dari racun korupsi.
Seperti dilansir dalam detik.com, Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tinggi Jakarta Utara telah mengajukan tuntutan 1 tahun penjara kepada dua tersangka penyiraman air keras atas korban Novel Baswedan. Tuntutan ini cukup mengecewakan publik. Pasalnya, tersangka telah menyiramkan sejumlah air keras ke wajah Novel dan menyebabkan mata kiri korban rusak parah dan bahkan cacat permanen.
Jaksa menganggap bahwa kedua korban tidak sengaja mengenain wajah korban, alih-alih badan korban yang ditargetkan dalam rangka memberi pelajaran kepada Novel. Alasan ini sungguh mencengangkan publik dan menuai kontroversi. Hasil peradilan yang diharapkan adil memihak keadilan, nyatanya berujung kekecewaan dengan hasil yang irasional. Masyarakat menaruh curiga keberadaan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan atas kejadian ini berusaha untuk mengelak dari dakwaan hukum.
Hal ini semakin membuat masyarakat jengah dengan ulah para penguasa dan orang-orang yang mencurangi hukum dan kemudian berlindung dari hukum itu sendiri. Dan menambah catatan kelam pemberantasan korupsi di Indonesia yang sudah dimulai dari masa orde lama, orde baru dan bahkan setelah terjadinya reformasi.
Para pelaku korupsi tidak pernah kapok bahkan telah menjadi kebiasaan beberapa pihak untuk melakukan praktik korupsi dan menghindar dari hukum. Perubahan hukum pemberantasan korupsi juga tidak kunjung menunjukkan hasilnya. Bukannya kasus korupsi berkurang, tapi justru hukum semakin mudah menjadi mainan berbagai pihak yang sudah kebal dengan korupsi.
Bahkan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai terjadi penurunan penindakan kasus korupsi selama tahun 2019 hingga kini. Bukan karena kasusnya berkurang, tetapi ruang gerak pemberantas korupsi semakin disulitkan kian harinya, seperti yang terjadi pada kasus Novel Baswedan. Pemberantas korupsi dibayang-bayangi ancaman keselamatan dan ketidakadilan hukum. Hal ini sungguh mengkhawatirkan hukum negeri ini yang semakin lunak kepada pihak-pihak yang mampu membeli hukum dan tajam kepada lawan politik dan kepentingannya.
Ketidakadilan kembali dipertontonkan kepada publik bak drama korea berkepanjangan. Ini semakin menegaskan kepada masyarakat bahwa mencari keadilan di tengah hukum yang memihak segelintir manusia berduit hanyalah ilusi berkepanjangan.
Janji-janji keadilan dan penegakkan anti korupsi seakan menjadi slogan-slogan penguasa dan beberapa pihak saja. Rakyat yang tidak disokong oleh suntikan dana besar tidak lagi memiliki tempat di mata hukum.
Catatan hitam sebelum reformasi kembali berulang dan menunjukkan wajah sesungguhnya. Mengapa perubahan hukum yang terus terjadi dari orde lama, orde baru dan bahkan reformasi tidak juga menunjukkan tegaknya keadilan di negeri ini? Kasus korupsi seperti telah menjadi sebuah pandemi karena tidak lagi terjadi satu dua kali, melainkan berkali-kali dan tersebar dari Sabang hingga Merauke. Bahkan, menjangkiti berbagai departemen pemerintahan mulai dari lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Proses peradilannya mudah dibeli saat tertangkap basah sebagai tersangka.
Lantas jangan salahkan rakyat jika sudah krisis kepercayaan kepada hukum negeri ini beserta para penegak hukumnya. Toh rakyat hanya dibutuhkan untuk membayar pajak dan sederet tagihan lainnya yang kemudian dengan santai di korupsi oleh segelintir pihak dan ‘dilindungi’ oleh hukum itu sendiri.