oleh

Dibalik Kampanye Kurva Landai. Opini Isra Novita

Dibalik Kampanye Kurva Landai. Oleh: Isra Novita, Mahasiswi Universitas Indonesia.

Sebagai upaya peningkatan perekonomian nasional, pemerintah Indonesia menggunakan berbagai macam upaya. Diantaranya peningkatan investasi dari Multinational Corporation atau biasa dikenal dengan investor asing. Berbagai macam upaya untuk memperlancar aliran investasi asing tersebut tetap diupayakan meski memicu beberapa risiko di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Kondisi pandemi saat ini sebenarnya sangat mempersulit pergerakan investasi dari investor asing. Karena kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) maupun kebijakan lockdown di beberapa negara investor. Namun, pebatasan tersebut ternyata masih diupayakan untuk dikurangi bahkan ditiadakan. Sehingga jalur investasi dapat mengalir dan dimenangkan sesuai target yang diharapkan pemerintah Indonesia.

Salah satu upaya yang dikerahkan pemerintah ialah kampanye “Gerakan Kurva Landai”. Seperti yang telah dipaparkan pada redaksi CNBC Indonesia. Hal ini merupakan seruan agar kasus positif Covid-19 bisa berkurang dan tak menularkan ke orang lain. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan gerakan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kasus dengan cara memastikan tidak menularkan orang lain begitu juga sebaliknya.

“Caranya ubah perilaku, jaga jarak, cuci tangan, pakai masker dan menjaga imunitas. Gerakan bersama masyarakat di Indonesia, kalau kita bersama, virus tak akan menulari,” ujarnya saat video conference Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (9/5/2020).

Upaya yang dilakukan itu ternyata membuat ekspektasi yang sangat dari pemerintah Indonesia agar salah satu target pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dapat tercapai dan investasi yang telah direncanakan dapat dimenangkan. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menginginkan agar kurva kasus Covid-19 turun di bulan Mei. Namun, ekspektasi tersebut ternyata masih jauh dari realita yang ada. Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) menuliskan, hingga saat ini Indonesia belum menampilkan kurva epidemi Covid-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi.

Tim EOCRU itu terdiri dari Peneliti EOCRU Iqbal Elyazar, Ahli Statistik EOCRU Karina Dian Lestari, mahasiswi doktoral Nuffield Department of Medicine University of Oxford Lenny Lia Ekawati, dan epidemologis EOCRU Rosa Nora Lina. Dalam tulisan yang dipublikasikan di laman The Conversation pada Jumat (8/5/2020), mereka meragukan adanya klaim terjadinya penurunan kasus baru Covid-19.

Fakta tersebut ternyata tidak membuat pemerintah tinggal diam, upaya “kampanye” kurva melandai pun digencarkan meski fakta tidak menyatakan demikian. Upaya ini terus digencarkan demi kelancaran kepentingan ekonomi dari investor asing. Kampanye tersebut digiatkan agar kelonggaran PSBB yang memperlancar rencana ekonomi tersebut dapat dimenangkan. Dan investasi asing pun dapat masuk dan berjalan dengan lancar. Manipulasi informasi pun terjadi kepada publik. Yang menggambarkan kondisi semakin membaik dan tidak akan menimbulkan permasalahan apa-apa.

Pada 6 Mei 2020 dalam rapat kabinet paripurna Presiden Joko Widodo memerintahkan para menteri dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 bekerja keras untuk menurunkan kurva kasus infeksi coronavirus pada bulan ini dengan cara apa pun. Sebelumnya, akhir April lalu, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengklaim laju kenaikan kasus harian Covid-19 di Jakarta, pusat pandemi Indonesia, sudah melambat. Klaim lainnya, kurva kasus coronavirus mulai mendatar sebagai efek dari pelaksanaan PSBB yang telah berjalan sejak 10 April 2020. Berita “baik” ini membuka perdebatan apakah benar laju kenaikan kasus baru Covid-19 di Jakarta sudah melambat.

Alat visualisasi standar, sekaligus paling populer, untuk menjelaskan situasi perlambatan ini adalah kurva epidemiologis (kurva epidemi). Kurva ini biasanya digunakan untuk menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan. Menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian. Masalah utamanya, sudah 68 hari setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi Covid-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. Oleh karena itu, adanya klaim terjadinya penurunan kasus baru Covid-19 cukup meragukan.

Fakta ini sesuai dengan redaksi detiknews yang mengabarkan bahwa Tim Peneliti EOCRU berpendapat hingga 8 Mei 2020, pemerintah Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus Covid-19. Mereka mengatakan jumlah kasus konfirmasi harian tidak sama dengan jumlah kasus baru. Dalam keterangannya, Tim Peneliti EOCRU mengatakan jarak waktu saat pengambilan sampel dan hasil pemeriksaan juga menjadi faktor yang mempengaruhi kurva epidemi Covid-19. Menurutnya, hingga saat ini pemerintah juga masih belum memberikan informasi kepada publik terkait waktu yang diperlukan dalam pemeriksaan sampel. Inilah kebohongan publik dibalik kampanye kurva landai.

Fakta ini tentu sangat miris dan mengkhawatirkan. Permasalahan kesehatan maupun kemaslahatan umat tidak diupayakan secara maksimal oleh pemerintah yang seharusnya mengurus segala kebutuhan mereka. Sebaliknya, penguasa justru sibuk untuk memenuhi keinginan para penguasa dan investor asing dengan dalih peningkatan perekonomian. Kondisi seperti merupakan permasalahan yang sangat wajar di tengah sistem kapitalis-liberal.
Pertimbangan kebijakan bukan lagi hukum syara’ namun kepentingan segelintir orang yang memiliki kekuasaan. Tentu, fakta ini sudah lebih dari cukup bahwa dunia saat ini memerlukan sistem Islam yang rahmatan lil’alamin untuk menyelesaikan problematikan umat saat ini. Wallahu a’lam bishshowwab.

Loading...

Baca Juga