Narasi Menteror Rakyat, Sebuah Konfirmasi Kezaliman Rezim Jokowi.
Ditulis oleh: Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Penguasa, itu berwibawa jika dapat bertindak adil dan menyejahterakan rakyatnya. Penguasa, itu akan ditaati rakyat jika mampu mengurusi rakyatnya dengan baik. Semakin adil, semakin mengurusi rakyat dengan baik, maka penguasa akan semakin berwibawa, ditaati dan dicintai rakyatnya.
Penguasa yang menebar teror, mengintimidasi rakyat, mengekang kebebasan rakyat, itu hanya ditaati pada batas urat takut rakyat belum putus. Namun saat urat takut rakyat putus, penguasa model ini hanya akan dicaci, tak punya wibawa dan dibenci rakyatnya sendiri.
Proses pembubaran dan pengumuman pelarangan kegiatan FPI, tidak dibangun dengan narasi keadilan, narasi yang menunjukkan betapa baiknya negara menyelenggarakan pemerintahan, mengurusi rakyatnya. Namun, lebih terlihat sebagai tindakan pamer kekuasaan, mengumbar teror kepada rakyat, seolah ingin menakut-nakuti rakyat agar taat dan tidak membantah pemerintah.
Hal itu bisa terbaca pada beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pengumuman pembubaran dan pelarangan FPI dilakukan oleh 6 (enam) lembaga dan kementrian. Yakni, Kemendagri, kemenkumham, Kemenkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan BNPT.
Padahal, berdasarkan asas ‘Contrarius Actus’ yang dahulu digembar-gemborkan sebagai dasar penerbitan Perppu Ormas, karena UU ormas belumlah menganut asas ini, semestinya cukup Kemendagri yang mengumumkan. Mengingat, FPI SKT-nya terdaftar di Kemendagri, bukan di Kemenkumham, Kemenkominfo, dan tak ada urusannya dengan Kejaksaan Agung dan Polri.
Pengumuman ini terlihat ‘lebai’, ingin menunjukkan negara ‘gagah’ melawan FPI. Tapi, pada saat yang sama negara begitu ‘letoy’ menghadapi OPM dan ULMWP di Papua. Gerakan ormas ditindak lebih bengis, ketimbang dengan gerakan separatisme dan terorisme di Papua.
Kedua, Kapolri ikut latah mengeluarkan Maklumat ‘mengancam publik’ untuk tidak membagikan informasi seputar FPI. Setelah membubarkan FPI, rezim ini ingin mengontrol seluruh opini terkait FPI, dan tak mau ada opini rakyat yang dibangun atas kesadaran fakta yang beredar.
Inginnya, semua tafsir fakta dan kebenaran peristiwa ada pada rezim. Ingin memaksakan jampi, orang yang tertembak mati sebagai pelaku kejahatan.
Ketiga, mengobarkan opini bahwa FPI tidak boleh berubah menjadi FPI dan jika FPI berubah menjadi FPI maka FPI harus mendaftarkan diri. Pengumuman perubahan FPI menjadi FPI tanpa mendaftar diri adalah ilegal.
Lalu, diframing ancaman pidana bagi FPI yang berubah menjadi FPI. Lalu, dibuatlah narasi, FPI tak bisa menjadi FPI jika kegiatan dan aktivitas FPI sama dengan kegiatan dan aktivitas FPI.
Semua narasi itu dibuat dalam kerangka ‘menakut-nakuti rakyat’. Dibuat untuk menteror rakyat, agar taat, agar bungkam dan membenarkan semua narasi yang dipasarkan rezim.
Tapi apa yang terjadi? Teror itu menjadi semacam ajang lucu lucuan, tak lagi menakutkan bagi rakyat. Pengumuman pembubaran FPI dijawab santai dengan mengumumkan deklarasi FPI. Terbitnya Maklumat Kapolri dijawab insan pers dengan tuntutan pencabutan. Opini perubahan FPI menjadi FPI dijawab santai oleh publik, tidak ada perubahan FPI menjadi FPI. Yang ada hanya deklarasi FPI. Dan membentuk ormas itu sederhana syaratnya, cukup dengan tiga orang sudah bisa deklarasi ormas.
Semua itu mengkonfirmasi rezim Jokowi zalim, tidak taat hukum, dan menyusahkan rakyat. Tidak pernah rakyat itu menuntut FPI dibubarkan, yang ada rakyat menuntut PDIP dibubarkan.
Tak ada rakyat itu mempersoalkan deklarasi FPI, yang dipersoalkan rakyat itu kematian 6 (enam) syuhada FPI. Tidak pernah, rakyat menuntut penggusuran ponpes markas dakwah FPI, yang dituntut itu penumpasan markas OPM.
Jadi, rezim benar-benar tidak adil, zalim. Soal menyejahterakan rakyat? Apalagi. Rezim bukan menyejahterakan rakyat, tapi menyusahkan rakyat dengan utang yang ditumpuk menggunung dan sebentar lagi meletus.
Namun, rakyat tidak peduli, tidak takut dengan kezaliman dan ancaman rezim. Rakyat sudah kenyang. Sudah putus urat takutnya.
FPI pun santai, tidak menggugat SKB tiga menteri. Bahkan, SKB itu dianggap sampah peradaban dan cukup dibuang ke septic tank.