oleh

Pedagang Pasar Bertaruh Nyawa Demi Menyambung Hidup Ditengah Pandemi

Pedagang Pasar Bertaruh Nyawa Demi Menyambung Hidup Ditengah Pandemi. Oleh: Dewi Murni, Aktifis Dakwah Pena, Praktisi Pendidikan, Balikpapan.

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKPPI) mencatat sebanyak 529 pedagang positif corona (Covid-19) di Indonesia. Kemudian, di antara ratusan pedagang yang positif corona tersebut sebanyak 29 lainnya meninggal dunia.

Ketua Bidang Keanggotaan DPP IKAPP, Dimas Hermadiyansyah mengatakan, saat ini terdapat 13.450 pasar tradisional yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Sebanyak 12,3 juta orang tercatat menjadi pedagang di pasar tersebut. Angka itu belum termasuk para pemasok barang, PKL, kuli panggul, serta jejaring rantai di pasar tradisional.

“Kami DPP IKAPPI mencatat data kasus Covid-19 di pasar seluruh Indonesia adalah 529 ditambah laporan terbaru yang kami terima dari Sumatera Selatan ada 19 temuan baru kasus Covid di Pasar Kebun Semai Sekip Palembang. Jadi total kami mencatat perhari ini Positif Covid-19 di pasar sebanyak 529 orang dan yang meninggal sebanyak 29 orang,” ujar Dimas dalam keterangannya, Sabtu (12/6/2020) (okezone.com, 13/6/2020).

Pasar memang menjadi tempat yang sangat rawan sebagai lokasi penyebaran Covid-19 karena di sanalah bukan hanya terjadi kerumunan orang melainkan pula pertukaran barang-barang, yang boleh jadi dibarang itu melekat virus. Namun, kedilemaan muncul saat kekhawatiran dan kebutuhan bertemu. Demi menyambung hidup baik penjual maupun pembeli, keduanya harus berjuang mengais rupiah maupun mendatangi kerumunan pasar membeli kebutuhan perut meski ditengah pandemi. Sebab masih rendahnya kesadaran untuk melaksanakan protokol kesehatan warga pasar akhirnya menyambung hidup dengan mempertaruhkan nyawa.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra mengingatkan bahwa penanganan pasar berbeda dengan tempat lainnya dalam mencegah penyebaran virus corona (Covid-19).

Hermawan mengatakan, pasar mempunyai karakter yang berbeda dalam memastikan penerapan protokol kesehatan. Pasalnya, aktivitas di pasar tidak hanya dari manusia ke manusia melainkan melibatkan barang dan uang (Okezone, 14/6/2020).

Hermawan juga mengingatkan Dinas Kesehatan untuk melakukan pendekatan yang berbeda kepada para pedagang dan pembeli dalam memastikan pencegahan Covid-19.

“Pembeli itu tidak terdata, dan cara melakukan mitigasi kepada penjual jangan mendatanginya di pasar. Periksalah di rumahnya dan juga lakukan secara persuasif untuk melakukan protokol kesehatan,” terang Hermawan.

Ia pun meminta Dinkes tidak melakukan rapid test massal di pasar. Menurut dia, pemeriksaan massal dengan mendatangkan ambulans di pasar akan mengakibatkan resistensi hingga penolakan dari para pedagang (Okezone, 14/6/2020).

Fakta ini lagi lagi memperjelas wajah buruk kapitalisme yang penuh kezaliman. Kapitalisme berwatak serba materi. Modal. Untung dan rugi. Hal itu membuat inimnya peran negara sebagai tameng, garda terdepan, dalam melindungi jaminan hidup umat. Semangat membangkitkan kembali ekonomi akibat dampak covid-19 justru menumbalkan nyawa umat. Padahal penguasa kelak akan dimintai pertanggung jawaban akan kepemimpinannya oleh Allah. Cengkaram ideologi kapitalisme dengan akidahnya sekuler, memisahkan urusan agama dan dunia membuat ambisi menjaga kestabilan ekonomi lebih penting daripada nyawa manusia. Hal ini jauh berbeda dengan islam yang sangat menjaga kelangsungan hidup manusia baik muslim maupun non muslim.

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Islam memiliki pandangan hidup yang sempurna menjawab setiap problematika umat secara tuntas dan barakah. Pertama-tama dalam sistem ekonomi islam membagi kepemilikan menjadi tiga, kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Pembagian tersebut membuat harta tersebar secara merata dan tepat sasaran. Misalnya segala hasil sumber daya alam akan dikembalikan kepada publik untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dilarang privatisasi atau mengkomersialkan SDA yang menyangkut hajat publik. Dari sini kesejahteraan akan terjamin. Sumber pemasukan negara juga tidak bertumpu pada pajak dan riba melainkan kepemilikan umum, fai’ dan kharaj, dan zakat. Dengan begitu negara menjadi mandiri dan stabilitas ekonominya terjaga secara terus menerus. Sehingga kala pandemi datang, negara sudah siap secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok umat. Bahkan jaminan kesejahteraan itu menyangkut semua pihak, baik kaya maupun miskin.

Kedua, antara yang sakit dan sehat akan dipisahkan. Sebagaimana hadist rasulullah, “Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut.” (HR Bukhari). Yang sakit akan diurusi oleh negara dengan pelayanan terbaik dan gratis. Sementara yang sehat tetap beraktifitas normal seperti biasa baik itu ibadah, jual beli, menuntut ilmu dan lainnya. Hal itu membuat aktifitas ekonomi berjalan stabil baik itu produksi, distribusi maupun konsumsi ditengah-tengah masyarakat tanpa ada rasa takut tertular wabah penyakit. Disamping negara tetap mengedukasi umat secara menyeluruh terkait wabah penyakit yang bersangkutan.

Demikianlah islam menjawab problematikan pandemi, dimana untuk mewujudkan itu semua tidak bisa mengharap pada sistem kapitalise sekuler saat ini melainkan kembali pada sistem islam yakni khilafah.

Loading...

Baca Juga