Verbal Bullying untuk Dapatkan Popularitas? Oleh: Sonia Marimbunna, mahasiswi STIKOM London School of Public Relations.
Di Zaman Millennial atau yang dapat di sebut juga dengan ‘zaman sekarang’ semakin banyak perempuan yang berani untuk menyuarakan pendapatnya. Baik itu di pemerintahan, di sekolah, maupun di kehidupan pribadi mereka. Berbeda dengan zaman sebelum R.A Kartini, perempuan lebih seperti kaum nomor dua. Kaum laki-laki selalu menjadi pemimpin atau orang yang dihormati.
Tak jarang kalimat “Perempuan Kaum Lemah” terdengar di telinga kita, hal ini rupanya membuat kaum perempuan dianggap tidak mampu untuk memimpin di masa lampau. Namun sekarang anggapan itu terbilang salah. Karena berdasarkan laporan yang di keluarkan oleh PBB yaitu World’s Women Report yang berisi gambaran keadaan perempuan di dunia, menyatakan bahwa anak perempuan memperoleh pendidikan dasar lebih tinggi dan prestasi siswa perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini dilansir dari idntimes.com.
Sekarang perempuan semakin berkarya dan tidak jarang dari kaum perempuan yang terjun langsung di dunia politik, bahkan dunia olahraga. Maka dari itu, tak jarang banyak perempuan yang tanpa menyadari bahwa mereka merendahkan laki-laki dengan menganggap diri mereka sendiri lebih hebat. Tak sedikit dari kaum perempuan yang akhirnya menghina atau mengejek teman laki-laki atau bahkan pasangan mereka.
Berdasarkan survey yang penulis lakukan melalui kuisioner yang di tujukan kepada para laki-laki berumur sekitar 15-25 tahun, lebih dari 70% laki-laki dari 65 responden mengaku bahwa mereka pernah dihina oleh teman perempuannya dan merasa tersinggung karenanya. Walaupun begitu, sebagian besar laki-laki lebih memilih untuk diam atau membiarkan teman perempuannya menghina mereka.
Berdasarkan wawancara yang di lakukan oleh penulis kepada beberapa narasumber, Jika mereka di pukul oleh perempuan, mereka tidak mau balas memukul perempuan. Karena sebagian besar, mengaku bahwa mereka takut dikatakan melakukan kekerasan terhadap perempuan.
“Ya mau gimana lagi? Kalau dibalas nanti dibilang melakukan kekerasan terhadap wanita lagi.” Kata salah satu narasumber.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata lingkungan sosial melarang laki-laki untuk memukul perempuan. Tetapi lingkungan sosial tidak melarang perempuan untuk memukul laki-laki. Karena 64,1% dari responden kuisioner yang telah disebar oleh penulis, menjawab biasa saja ketika melihat seorang perempuan memukul laki-laki.
Kasus perempuan melakukan kekerasan fisik mungkin jarang terdengar. Karena perempuan biasanya melakukan kekerasan dengan perkataannya. Tak banyak dari laki-laki yang membiarkan hal tersebut dan tidak melaporkannya. Karena bekas luka yang di berikan oleh perempuan tidak memberikan bukti. Perkataan yang buruk menyakiti perasaan, bukan kulit yang dapat terlihat lukanya.
Menghina dan merendahkan dengan maksud bercanda ternyata termasuk salah satu dari Bullying. Karena Menurut Bona Sardo, MPsi, psikolog dari Universitas Indonesia, batasan antara bercanda dan menghina sangat sulit diasumsikan karena persepsi orang berbeda-beda.
Christopher John Hunt, psikolog klinis dari University of Sydney, juga mengatakan bahwa banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka sudah melewati batas dalam bercanda, dan akhirnya tanpa sengaja mereka menyinggung orang lain. Keadaan jadi bertambah rumit ketika orang yang dicandai ‘diam-diam’ merasa terhina dan berusaha untuk tetap tertawa. Maka hal ini dapat dikatakan Verbal Bullying. Hal ini di lansir dari beritalengkap.com.
Menurut seorang pembicara dan penulis internasional tentang bullying yang bernama Barbara Coloroso, Bullying di bagi menjadi 4 jenis. Yaitu bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional, dan bullying secara elektronik.
Yang dilansir dari situs antibullyingsofware.com, Verbal Bullying sendiri adalah penindasan yang di lakukan melalui perkataan seperti menghina atau menggoda untuk mendapatkan kekuatan dari teman sekitarnya.
Menurut psikolog klinis Liza Marielly Djaprie, Verbal Bullying tanpa di sadari sering dilakukan perempuan. Dan tidak hanya kepada laki-laki, namun juga kepada sesama jenis.
Setelah penulis melakukan survey untuk mengetahui tanggapan masyarakat mengenai laki-laki yang memiliki gaya bicara atau gaya berpakaian seperti perempuan, Tak sedikit dari laki-laki bahkan setuju kepada para perempuan yang menghina laki-laki itu banci.
Para responden laki-laki bahkan ada yang setuju bahwa lebih baik laki-laki itu diejek atau dihina banci supaya dia sadar. Mungkin maksudnya baik karena menginginkan laki-laki itu merubah sikapnya, namun menghinanya banci bukanlah solusi. Bukan hanya wanita, tetapi laki-laki juga harus menyadari bahwa hal ini termasuk bullying verbal.
Sudah tak asing lagi, Bullying memberikan dampak buruk kepada orang yang dibully. Seperti stress, frustasi, self-harm atau bahkan sampai bunuh diri. Menurut psikolog klinis Liza Marielly Djaprie yang dilansir dari situs cnnindonesia.com menyatakan bahwa penindasan yang di lakukan dengan kata-kata memberikan efek yang lebih dahsyat dibandingan dengan penindasan secara fisik.
Perempuan melakukan verbal bullying sebagai teknik sosial untuk mendominasi atau memperlihatkan kelebihan serta kekuatannya. Namun tak jarang laki-laki melakukan hal yang sama untuk memperlihatkan kekuatannya.
Penelitian yang di lakukan oleh Yayasan Sejiwa (2008) tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia. Yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa pengucilan. Di peringkat kedua ditempati oleh kekerasan verbal (mengejek) dan kekerasan fisik (memukul).
KOMNAS PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak) mengatakan bahwa angka kekerasan bullying pada tahun 2011 menunjukkan angka yang cukup mengkhawatirkan. Peningkatan jumlah pengaduan yang masuk pada tahun 2011 mencapai 98 persen.
Dilansir dari situs beritasatu.com hasil kajian dari Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menyebutkan, hampir setiap sekolah di Indonesia ada bullying. Bullying terbanyak adalah Bullying Verbal dan psikologis. Ini menunjukkan bahwa sangat minimnya antisipasi tentang Bullying Verbal pada anak sekolah.
Susanto, selaku ketua Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter menilai bahwa Indonesia sudah masuk kategori “Darurat Bullying di Sekolah”. Hal ini menunjukkan presentase Bullying di Indonesia masih tergolong banyak.
Pengharapan untuk mengurangi Verbal Bullying sangat besar bagi warga Indonesia terutama anak-anak yang berada di Sekolah Menengah Atas karena angka kasus bullying masih begitu besar. Alangkah lebih baik tidak hanya pria yang dapat menjaga tutur katanya, namun perempuan juga melakukan hal yang sama.