New Normal Life, Ekonomi Sehat Rakyat Mangkat
Oleh: Syarifah Ashillah
Covid-19 sudah menelan ribuan nyawa di Indonesia dan menginfeksi jutaan orang di dunia. Direktur kedaruratan WHO, dr Mike Ryan, memperingatkan bahwa virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 mungkin tak akan pernah hilang meski nanti ada vaksin. Maka dari itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan prosedur kehidupan new normal yang harus dijalani oleh penduduk dunia selama masa pandemi.
Pemerintah Indonesia segera merespons arahan ini, pemerintah tampaknya akan segera melonggarkan aktivitas sosial serta ekonomi dan bersiap kembali beraktivitas dengan skenario new normal. Presiden Jokowi telah meminta seluruh jajarannya mempelajari kondisi lapangan untuk mempersiapkan tatanan normal yang baru di tengah pandemi COVID-19. Saat ini sudah ada 4 provinsi serta 25 kabupaten/kota yang tengah bersiap menuju new normal (detiknews.com)
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengatakan, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Namun mekanisme new normal bisa diberlakukan jika memenuhi beberapa syarat seperti yang diungkapkan Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Prof Ridwan Amiruddin PhD, negara harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan.
Bila mengacu pada angka reproduksi (R0), situasi bisa dikatakan terkendali bila angka R0 di bawah 1. Menurut Ridwan, saat ini, R0 di Indonesia berada di kisaran 2,2-3,58. Hal senada juga disampaikan Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Pradiptajati Kusuma dikutip dari cnbc (27/05/20)
Maka wajar sejumlah pihak masih menilai Indonesia belum siap untuk melonggarkan PSBB dan menuju new normal melihat dari kurva pandemi virus corona yang tak kunjung melandai. Dilansir dari merdeka.com sejak 10 hari terakhir (25 Mei-3 Juni) terjadi tren pertambahan kasus rata-rata ditemukan 596 kasus terjadi per hari. Jadi belum ada tanda-tanda covid-19 kurvanya melandai.
Meski menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, keputusan ini diambil demi memulihkan kondisi ekonomi. Seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasan pemerintah mau menerapkan new normal.
Dasar utama keputusan penerapan new normal itu adalah ekonomi. Jika kita melihat pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia menang tidak sampai 3%, terendah sejak 2001. Bahkan sepertinya kondisi bakal lebih parah pada kuartal II-2020.
Tak heran memang jika alasan ekonomi lebih dominan dalam menyikapi wabah ini, sedari awal covid-19 menyerang Indonesia, pemerintah seolah mengambil kebijakan setengah hati, selalu saja untung rugi yang menjadi tolak ukur kebijakan.
Misal di saat negara lain menutup pintu untuk turis China, pemerintah malah membayar influencer untuk mengundang wisatawan ke Indonesia, juga terus membuka TKA dari China untuk masuk. Juga tidak diambilnya opsi lockdwon karena pertimbangan ekonomi. Sama dengan larangan mudik tapi dibukanya mode transportasi, dan yang teranyar adalah covid-19 dijadikan ladang basah untuk mengumpulkan pundi-pundi, seperti mahalnya biaya rapid test dan uji swab untuk mendeteksi virus corona.
Ini adalah dampak diterapkannya sistem kapitalisme di mana acuan melakukan sesuatu berdasarkan keuntungan semata. Negara memiliki pandangan untung rugi dalam mengambil kebijakan. Padahal jika melihat angka pertambahan kasus yang kian membumbung Indonesia belum siap untuk melakukan normal life, karena syarat utama normal life ketika virus ini dapat dikendalikan bisa dilihat dari kurva epidemiologi yang landai. Pemerintah memang telah mengklaim pandemi Covid-19 berhasil dikendalikan berdasarkan kurva penambahan kasus baru yang terus menurun dalam beberapa hari.
Pakar epidemiologi menilai klaim itu salah karena keliru cara membaca datanya. Justru nyawa masyarakat berpotensi terancam karenanya.
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani berkata kesimpulan bahwa kurva penularan Covid-19 telah menurun tak bisa didasari hanya pada penambahan kasus di 2-3 hari terakhir tapi harus dilihat dalam jangka waktu satu minggu hingga satu bulan. Tak hanya itu, Peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU).
Iqbal Elyazar menyebut hingga hari ini Indonesia belum memiliki kurva epidemi yang sesuai kaidah epidemiologi. Kurva epidemiologi adalah sebuah visualisasi dari berbagai data terkait wabah guna memahami kondisi riil di lapangan. Maka pernyataan pemerintah dinilai terburu-buru. Jangan sampai karena ingin menjalankan roda ekonomi malah menjerumuskan rakyat pada liang lahat mengingat sistem kesehatan Indonesia baik alkes, nakes, rumah sakit dan lainnya terbatas belum lagi iuran BPJS ikut naik semakin menambah derita rakyat.
Watak yang harus dimiliki penguasa adalah su’unil ummah (mengurusi rakyat) bukan watak pengusaha di mana keuntungan saja yang menjadi prioritas utama. Dalam Islam yang notabene adalah sebuah pandangan hidup yang di dalamnya terdapat peraturan hidup secara sempurna dan paripurna maka tak heran jika kriteria pemimpin dan cara pemimpin menjalankan amanat kepemimpinannya pun diatur secara jelas.
Salah satunya seorang calon pemimpin haruslah merdeka tidak di bawah intervensi siapa pun baik orang, kelompok atau negara mana pun, dan seorang pemimpin memiliki berpandangan bahwa ia memiliki dua fungsi utama, sebagai raa’in dan junnah bagi umat. Raa’in adalah pengurus. Sesuai dengan hadist Rasulullah Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Dan junnah adalah perisai (pelindung) untuk rakyatnya.Rasulullah bertutur
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Maka tak heran jika khalifah akan menetapkan kebijakan yang memprioritaskan keselamatan rakyat. Hal ini benar-benar tancapkan dalam pikiran seorang pemimpin karena landasannya adalah akidah Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, ada ancaman yang serius bagi penguasa yang zalim kepada rakyatnya yaitu neraka.
New normal life tidak lain hanya cara kapitalis untuk membangkitkan kembali roda perekonomian mereka. Maka tak heran mereka menekan penguasa untuk memberikan ruang bagi ekonomi. Untuk dapat bernafas namun tak peduli kondisi masyarakat yang terancam.
Adapun konsep utama roadmap penanganan wabah menurut Islam. Bahwa menjaga satu nyawa itu begitu berharga tak menunggu korban terus bertambah lagi mengambil langkah selanjutnya. Dalam keadaan apa pun keselamatan rakyat senantiasa akan menjadi pertimbangan utama negara.
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).
Bagaimana ukiran secara mencatat dalam sejarah kesuksesan Khalifah Umar bin Khaththab menyelesaikan serangan wabah yang menimpa rakyatnya. Bahkan bukan hanya satu jenis bencana. Pemerintahan Khalifah Umar pernah diuji Allah dengan dua musibah. Pertama, bencana kekeringan yang terjadi di Madinah. Selama kurang lebih sembilan bulan ibu kota pemerintahan Islam ini dilanda bencana kelaparan akibat perubahan cuaca.
Ujian yang kedua adalah wabah ‘Thaūn Amwās yang menyerang wilayah Syam. Wabah ini dikabarkan telah menghantarkan kematian tidak kurang dari 30 ribu rakyat.
Sekalipun ditimpa dua bencana besar, namun Khalifah Umar tidak kehilangan kendali. Beliau tetap menunjukkan karakternya sebagai seorang pemimpin yang bersegera menyelesaikan masalah rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua bencana tersebut dihadapi dengan solusi yang menyelesaikan.
Dengan cara menggabungkan antara akidah dan syariah. Dalam menangani masalah wabah, khalifah Umar tidak berhenti hanya menyerahkannya pada takdir Allah saja. Namun justru bersegera terikat kepada ketentuan syariat yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka tak heran khalifah dapat melewati wabah yang melanda.
Maka negeri ini bukan membutuhkan new normal melainkan new sistem sebuah sistem kehidupan yang baru. Untuk mengatur negeri ini, karena sistem kapitalisme telah gagal mengatur kehidupan. Kebijakannya yang tambal sulam untuk mengatasi krisis menunjukkan kapitalisme semakin terpuruk. Indonesia yang menerapkan sistem ini pun semakin tak berdaya mengurusi rakyatnya secara mandiri. Maka saatnya kita mewujudkan kembali bisyarah Rasulullah kembalinya al-Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.