oleh

Tagihan Listik Berlipat, Ketahanan Energi Sekarat?

Tagihan Listik Berlipat, Ketahanan Energi Sekarat? Oleh: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.

Sudah bayar listrik? Kaget? Heran dan terbelalak menyaksikan tagihan listrik rumah membengkak. Sebagian kondisi ini dikeluhkan masyarakat. Tagihan listrik naik dua kali lipat. Hal ini banyak dialami pelanggan 900 VA dan 1.300 VA non subsidi.

Isu tagihan listrik yang membengkak menjadi liar. Sebagian masyarakat menilai ada kenaikan tarif listrik secara diam-diam. Sebagian lagi menuding adanya subsidi silang untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA. Tuduhan itu pun segera dibantah pihak PLN. PLN menyebut bahwa kenaikan tarif listrik dan subsidi silang bukanlah wewenang PLN, tapi itu wewenang pemerintah.

PLN juga menjelaskan bahwa melonjaknya tagihan pelanggan bukan karena tarif dinaikkan. Akan tetapi, lantaran banyaknya aktivitas di rumah yang memungkinkan penggunaan listrik tidak seperti biasa. Sebagai dampak dari pandemik covid-19. Kesalahan pencatatan meteran juga menjadi salah sau sebab lonjakan tersebut.

PT PLN (Persero) menjelaskan bahwa pihaknya memang mengandalkan pihak ketiga untuk melakukan pencatatan meteran listrik ke rumah-rumah pelanggan. Direktur Niaga dan Management PLN Bob Saril pun memastikan bahwa proses pencatatan meteran listrik oleh petugas sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Bob menjelaskan bukti foto itu penting terutama apabila ada pelanggan yang komplain mengenai tagihan listrik.

Di samping itu, Bob mengakui ada beberapa kendala yang dialami para petugas saat bertugas ke lapangan. Misal pagar rumah pelanggan kerap dikunci saat petugas akan melakukan pencatatan meteran. Sehingga mau tidak mau, aktivitas pencatatan meteran tak bisa dilakukan hari itu juga. Atau, pelanggan diminta melakukan pencatatan meteran sendiri dan melaporkan ke PLN. (detikfinance, 7/6/2020)

Dilema PLN
PLN mencatat terdapat 4,3 juta pelanggan yang mengalami kenaikan lebih dari 20 persen pada tagihan Juni. PLN membuka posko pengaduan terhadap layanan dan tagihan yang melonjak tajam. Untuk meringankan beban pelanggan yang mengalami lonjakan tagihan. PLN membuka skema pembayaran dengan cara mencicil.

Cicilan pembayaran tersebut diberikan kepada pelanggan yang mengalami kenaikan tagihan lebih dari 20 persen. Senior Executive Vice President Bisnis dan Pelayanan Pelanggan PLN Yuddy Setyo menjelaskan, cicilan pembayaran hanya diberlakukan untuk besaran kenaikan tagihan listrik. Sebagai contoh, pelanggan biasanya membayar Rp 1 juta setiap bulan, tetapi pada rekening Juni, tagihan yang perlu dibayar sebesar Rp 1,6 juta. Maka, pelanggan dapat mencicil besaran kenaikan sebesar Rp 600.000. (kompas.com, 9/6/2020)

Jika bengkaknya tagihan itu diakibatkan karena kesalahan pencatatan meteran, mengapa pula pembayarannya dibebankan pada rakyat? Bukankah sudah menjadi konsekuensi bagi PLN untuk memberi keringanan membayar? Bukan melakukan keringanan dalam mekanisme pembayaran.

Mungkin ini yang menjadi dilematisasi PLN. Sebagai salah satu ikon ketahanan energi nasional, PLN mengalami banyak kerugian. Tahun 2018, PLN rugi operasional sebesar Rp 35,3 triliun. Tahun 2019 merugi sebesar Rp 28,7 triliun, dan tahun 2020 kerugian itu mencapai Rp 44,3 triliun. Bahkan diperkirakan tahun 2021 PLN akan mengalami kerugian operasional sebanyak Rp 83 triliun.

Sebagai perusahaan berplat merah, PLN dibayangi kerugian besar. Ancaman bangkrut di depan nyata bila tak segera dicari solusinya. Andaikata bangkrut, maka ini akan menjadi peluang besar bagi pihak swasta bermain di sektor kelistrikan. Ketahanan energi nasional bisa sekarat. Kedaulatan negara sebagai pemasok energi listrik bisa-bisa tergusur oleh swasta atau asing.

Kerugian operasional yang dialami PLN tentu tak berdiri sendiri. Utang pemerintah terhadap PLN sebenarnya sudah jatuh tempo. Pendapatan PLN tertekan karena pandemik corona. BUMN itu pun meminta pemerintah membayar utang kompensasi sebesar Rp 48 triliun.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam video conference, Rabu 22/4/2020, berharap Kementerian ESDM Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan berkoordinasi agar pemerintah segera membayar utang. Selama pandemik, PLN harus menalangi inenstif diskon listrik sebesar listrik bagi pelanggan 450 VA dan 900 VA bersubsidi sebesar Rp3,4 triliun. (katadata.co.id, 22/4/2020)

Disamping menanggung insentif tersebut, PLN juga wajib membayar utang dalam bentuk valas sebesar Rp 35 triliun. Inilan diantara sebab mengapa kerugian operasional PLN begitu besar. Utang pemerintah kepada PLN belum dibayar. Sementara PLN diwajibkan terus melakukan pelayanan listrik kepada pelanggan. Dipaksa bekerja melayani kebutuhan rakyat, namun tak difasilitasi bahkan dibebani dengan tumpukan utang yang luar biasa.

PLN hanyalah salah satu contoh bagaimana sekaratnya BUMN mempertahankan diri. Ancaman gagal bayar utang hampir menyentuh sebagian perusahaan plat merah. Seperti Jiwasaraya, Asabri, dan Krakatau Steel.

Perusahaahaan negara yang dikelola berdasar aturan sistem kapitalisme memang rentan gagal bayar. Minimnya peran negara dalam pengelolaannya juga menjadi titik poin betapa ‘sekarat’nya BUMN menghidupi dirinya sendiri. Tuntutan tinggi, tapi peran negara sangat kecil. Liberalisasi sektor energi menjadi sumber masalah utama. Menutupi kerugian dengan reprofiling utang hanya akan menambah derita BUMN.

Energi Listrik Milik Rakyat
Dalam Islam, listrik merupakan sumber energi. Energi yang dihasilkan dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air, minyak, batu bara, angin, panas bumi, nuklir, matahari, dan lainnya. Hanya saja sumber energi listrik yang digunakan lebih banyak berasal dari batu bara. Batu bara merupakan salah satu barang tambang yang jumlahnya tak terbatas dan dibutuhkan banyak masyarakat. Oleh karena itu, barang tambang seperti batu bara termasuk dalam kepemilikan umum. Tidak boleh dimiliki individu atau swasta.

Karena listrik merupakan milik umum, maka pengelolaannya harus diserahkan kepada negara. Bukan kepada pihak lain atau swasta. Dalam hal ini, negara mengelola sumber daya energi untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyat. Bukan menjulanya dalam bentuk meteran kepada rakyat. Dalam Islam, penggunaan listrik bisa saja gratis.Kalaupun tidak gratis, maka besaran tarifnya tidak akan mahal seperti saat ini. Bila tarif listrik gratis atau murah, rakyat tak akan terbebani.

Penerapan ketahanan energi dengan konsep Islam jauh dari nilai kepentingan kapital. Semua sumber daya dikelola untuk kepentingan rakyat. Hal ini tidak akan kita jumpai dalam sistem ekonomi berbasis kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis dibangun dengan asas kemanfaatan pihak-pihak yang berkepentingan. Pertanyaannya, maukah Indonesia mengadopsi sistem ekonomi berbasis syariah ini? Atau masih merasa nyaman dengan sistem berbasis ribawi dan utang yang terus membelit negeri ini? Wallahu a’lam.

Loading...

Baca Juga